The Impended Statement


Hampir sebulan gue menimbang-nimbang apakah akan memberikan pernyataan atau tidak. Pernyataan tertulis, versi gue sendiri.

Sebulan yang lalu akhirnya hal yang sudah gue cemaskan semenjak 2005 terjadi. Gue nggak kaget lagi karena udah pernah simulasi panik dan marah sebelumnya, dan semua jenis skenario terburuk sudah dipaparkan di antara gue dan Mandosh. Yang gue herankan adalah ternyata, ketika akhirnya terjadi, begitu cepat dan singkat, hampir tanpa darah. Mungkin serupa sunat laser.

Butuh kira-kira waktu dua minggu sebelum akhirnya semuanya meresap dalam hati dan pikiran gue. Rasanya sama seperti kehilangan teman atau keluarga. Kekosongan itu dengan segera menghantui gue terutama saat gue terjaga. Kemudian, seringnya sih gue jadi terjaga malam-malam. Sunat laser tidak menyebabkan efek samping seperti ini kan?

Kalau dipikir-pikir, yang mana gue lakukan cukup sering, ternyata pada akhirnya tidak terlalu banyak yang gue sesalkan dari hampir 5 tahun kelompok itu berjalan. Yang busuk-busuk juga memberikan nilai tambah buat gue. Yang gue sesalkan adalah, bahwa sesudah hampir lima tahun itu, gue tidak merasa ada itikad tulus merangkul kami. Bahkan sampai dengan pembicaraan terakhir yang sangat berbau komersialitas.

Tidak ada yang salah dengan komersialitas. Gue mendukung komersialitas. Tapi apa daya, gue kayak gag ada nilai jual buat mengkomersilkan kelompok itu. Kayaknya ini jadi ganjalan buat mereka go public berhubung gue nggak bisa di-retur seperti halnya komoditas lain di sana. Gue nggak bisa dideketin secara personal karena secara personal gue nggak (lagi) bisa dideketin. Gue nggak tahu apa perkaranya sama Mandosh, padahal tadinya, sepertinya, Mandosh dirasa cukup bisa “diajak ngomong” tapi terakhir-terakhir ternyata Mandosh dianggap orang asing juga (dan gue nggak menyalahkan mereka, karena, yah, Mandosh memang orang asing, dari Swedia. Ya nggak, Bert?)

“Ini kan usaha berbasis komunitas. Idealnya...”

Idealnya adalah barang dagangan elu dibeli sama komunitas itu, yang hasilnya mendukung komunitas itu juga, yang intinya adalah hubungan timbal balik. Mungkin mereka ngerasa hubungan kelompok kami sama mereka itu nggak timbal balik. Nggak seimbang. Jomplang. Sementara gue ngerasa, kurang ikhlas apa lagi kami ini. Mungkin mereka lupa, dulu mereka yang bilang berkomitmen mendukung kami. Mungkin mereka lupa dulu mereka bisa duduk dan ngobrol dengan kami tanpa merasa terpaksa, dan dari percakapan yang timbul dari duduk-duduk itu mereka bisa tahu apa yang dikonsumsi kelompok itu, lantas menyediakannya di antara dagangan. Kenapa itu nggak lagi terjadi? Karena gue? Apa hubungannya? Kelompok itu isinya kan bukan cuma gue.

“Idealnya ada output...”

Output menurut gue ada beberapa macam:

1. Kemajuan anggota kelompok itu, dan mereka maju berkembang, bisa dilihat langsung dari karya-karyanya. Nggak pernah lihat? Astaga, padahal kami selalu duduk di depan kalian.
2. Bundel karya, dan memang sudah ada, di tangan beberapa editor, di beberapa penerbitan. Belum pernah lihat? Oops, sorry, we kind of... you know, busy.
3. Modul yang bisa diterapkan, ada dan selalu disesuaikan untuk tiap individu anggota yang berbeda-beda tingkat perkembangannya. Belum pernah lihat? Well, if you came and sat with us you would.
4. Workshop, kami melakukannya dalam bentuk sesi latihan kecil, empat kali dalam sebulan, di tempat komunitas itu. Kata kami itu workshop, meskipun itu, you know... gratisan, gag pake spanduk dan gag mengundang selebritas sastra.
5. Literature Event organizing, ini yang kami belum mampu. Mengundang selebritas sastra, cari sponsor, rutin setiap tiga bulan? OK, I give up. I have neither time nor money.

Dan memang adalah out put terakhir yang mereka mau.

Gue berhenti. Gue menyerah. Sudah, ambil saja kembali nama itu. Semuanya gue kembalikan. Mereka merasa sudah banyak yang mereka berikan buat mendukung kami: tempat pertemuan dan waktu, publikasi bulanan dalam jadwal dan agenda yang mereka cetak dan sebarkan ke segala penjuru Bandung, 4 kali cetak dan sebar kompilasi karya kelompok ke seluruh penjuru Jawa Barat. Mereka merasa dikecewakan karena sejak munculnya kelompok ini di tahun 2003, tidak satu pun balas budi yang kelompok ini berikan atas pengorbanan yang mereka berikan.

Gue berhenti.

Gue sudah tidak merasa ikhlas lagi. Gue sudah merasa tidak ikhlas sedikit demi sedikit sejak 2005, daripada diteruskan jadi borok jadi kanker dalam hati dan kepala gue, mending gue berhenti. I have nothing to lose.

Jadi demikianlah. Inilah dia pernyataan itu.


Terima kasih semua, sudah hadir dengan setia dalam setiap sesi workshop kami. Sudah rela berbagi cerita dan ide cerita, dan membuat mereka menjadi nyata dalam tulisan bersama-sama. Klab Nulis versi kami berhenti sampai di sini.


Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Monster Playgroup (Pt. 1)