Mencari Identitas Diri

The Long and Winding Road



Berkaitan dengan kapasitas pekerjaan saya, saya berkenalan dengan seorang wanita cantik berbahasa Perancis yang sedang belajar seni dan fotografi di Jogja. Dia ke Bandung sedang main. Kami ngobrol panjang dan lebar karena sepertinya ada beberapa kesamaan pada cara berpikir kami. Dia berkisah tentang persahabatannya dengan beberapa orang dari Aceh Darussalam, dan mengatakan dia memiliki kopi sebuah film dokumenter yang sangat panas. Film ini terlampau panas sehingga di Indonesia dilarang tayang dalam beberapa festival. Kecuali tentunya bila penayangan itu dilakukan bawah tanah, diam-diam, berbau alternatif.

Saya mendapat pinjam salinan cd film itu karena saya menawarkan kesempatan untuk screening dan diskusi. Kami sepakat saya harus melihatnya lebih dulu sebelum memutuskan. Untuk pertimbangan agar tidak asal.

Film dokumenter tersebut berjudul The Black Road: The Front-Line of Aceh's War, durasinya sekitar 52 menit, dibuat oleh seorang jurnalis berkebangsaan Amerika Serikat bernama William Nessen pada kurun waktu 2001-2002. Sebelum Tsunami menyapu Aceh.

Baru lima menit saya memutar film itu (dengan agak di skip sini-sana karena saya harus buru-buru berangkat kerja), saya merasa sangat gelisah dan tidak nyaman. Saya tidak suka. Lidah saya terasa pahit dan dada saya sesak karena debar jantung yang meningkat frekuensinya. Dalam kepala saya mulai berjajar argumen-argumen yang sangat defensif terhadap gambar bergerak tersebut. Saya sampai heran, kenapa saya bereaksi sedemikian keras?

Black Road, kata Nessen, adalah sebuah jalan raya yang melintasi propinsi Aceh Darussalam, tak diragukan lagi contoh sumbangan separuh hati dari Jakarta untuk propinsi yang dihisap habis kekayaannya selama pemerintahan Orde Baru. Jalan itu diaspal. Warnanya hitam.

Lalu Nessen berkisah mengenai asal-muasal pembuatan film dokumenter itu. Ia adalah jurnalis lepas yang tinggal dan bekerja di Jakarta. Karena tertarik pada konflik di Aceh, dan betapa sedikit peliputan yang memuaskan keingintahuannya, ia sendiri yang berangkat ke sana.

Pada beberapa kunjungan pertama, Nessen bepergian bersama pihak militer. Militer tampak akrab dan ramah terhadapnya, membawanya pada beberapa operasi di daerah terpencil. Membiarkannya mengambil gambar tembak-menembak. Memperlakukannya seperti tamu penting.

Untuk keseimbangan peliputan ini, Nessen mendekati juga orang-orang Aceh asli. Militer itu pendatang, kebanyakan malah berasal dari Jawa, "orang Indonesia". Ia butuh sisi lain dari cerita ini. Tak seberapa lama Nessen sudah berkumpul dengan para "GAM separatists". Bermain dan berbagi cerita dengan kelompok militan GAM. Sangat patriotis para militan GAM ini. Lantas Nessen berusaha menjelaskan akar patriotisme mereka. Alasan kenapa GAM ada. Alasan kenapa Aceh ingin merdeka, kenapa "orang Indonesia", dan kenapa "Separatis GAM". Militan GAM memperlakukan Nessen seperti saudara. Menunjukkan padanya anggota-anggota mereka yang sembunyi di gunung-gunung. Memercayakan rahasia dan nyawa mereka pada Nessen.

Kelompok militan GAM begitu akrab dan hangat dengan jurnalis ini, dan dia berada di medan perang begitu lama, sehingga militer menyangka dia mata-mata. Ia diperingatkan untuk menyerahkan diri, yang akhirnya dia lakukan juga. Pemerintah RI lantas memenjarakan dia karena tuduhan penyalahgunaan visa bukan karena kecurigaan bahwa dia adalah mata-mata.

Nessen diam-diam jatuh cinta dan menikahi seorang perempuan setengah Aceh yang membantunya di awal penelitiannya untuk film ini di Aceh dan Jakarta. Perempuan itu juga adalah salah satu mediator dalam perundingan GAM-RI yang berujung penandatanganan perjanjian damai. Penandatanganan yang dilakukan GAM untuk mengakhiri derita setelah begitu banyak kematian, begitu kata Nessen di akhir dokumenter ini.

Jalan Hitam itu bagi Nessen menjadi simbol perjalanan panjang yang tiada akhir, bukannya memberikan kebebasan, tapi merupakan jalan panjang penderitaan dan opresi.

Guncangan akibat film dokumenter itu begitu terasa sehingga saya menghabiskan sepanjang hari memikirkan kenapa reaksi saya adalah perasaan marah dan terganggu.

Reaksi saya yang begitu keras mungkin bisa dijelaskan oleh beberapa hal. Semenjak mengerjakan sebuah penelitian kecil tentang efek CNN atas reaksi publik terhadap kebijakan pemerintah di Amerika Serikat (dan di mana pun sebenarnya), saya sudah menumpuk sentimen terhadap para jurnalis. Media massa bisa bohong. Liputan seringkali sarat dengan nilai-nilai pribadi sang jurnalis. Tidak bisa dihindarkan. Padahal proses penulisannya metodis, ilmiah; yang harusnya dingin, tak berpihak, tajam.

Nessen sendiri bilang bahwa sebelum dia meninggalkan GAM dan menyerahkan diri pada militer, dia kehilangan semua barangnya. Kamera, foto, film. Tapi dia beruntung karena sempat menitipkan sebagian foto di rumah penduduk. Jadi, bahan untuk dokumentasi ini, setengahnya, yang dia buat sebelum tsunami, dari mana? Tidak diragukan lagi, editingnya bagus. Saya semakin skeptis.

Ditambah, saya memiliki sentimen terhadap Amerika Serikat. Pemerintahnya. Ideologi dan budaya rakyatnya. Memang tidak bisa pukul rata, tetapi paranoia adalah sama di mana-mana, dibedakan oleh kadar kekentalannya dan kemampuan pengidap paranoia tersebut. Tiap budaya punya paranoia yang tipikal. Sebuah paranoia yang sadar atau tidak, sudah terlembaga dalam nilai-nilai dan kesadaran kelompok masyarakat tertentu.

Tetapi saya bukan suporter militer. Saya bukan suporter birokrasi. Keduanya diserang hebat dalam dokumenter ini. Dan saya merasa marah atas serangan itu.

Akhirnya saya mempertanyakan kadar empati saya. Lalu, kadar empati saya. Sama sekali tidak menjawab apa-apa.

Saya mulai mencari informasi pendukung agar jelas penyebab amarah saya. Saya menemukan tulisan Nessen berkaitan tentang film dokumenter the Black Road. Isi informasinya kurang lebih sama dengan narasi film dokumenternya. Tetapi saya tidak lantas emosi seperti halnya saat saya menonton film dokumenternya. Mengapa?

Sudah jelas dalam membuat dokumenter itu, Nessen menggunakan sudut pandang pribadinya. Tanpa ditutupi lagi dia banyak menggunakan kata penunjuk orang pertama sepanjang narasi. Ini adalah dokumenter perjalanan keingintahuan dia, bukan orang lain. Namun, karena dalam film dokumenter bahasa yang digunakan adalah bahasa visual, saya memiliki kesulitan untuk memisahkan diri saya dari narasi. Berbeda dengan teks, dalam film dokumenter saya dipaksa menghadapi realita yang dihadapi Nessen tanpa diberi kesempatan untuk melihat yang lainnya. Realita yang ditawarkan Nessen pun sangat keras, membuat tidak nyaman. Sudut pandang saya hanyalah sudut pandang kamera, yang bukan atas kuasa saya. Sementara itu jalan pikiran narator (Nessen) dan jalan pikiran saya sangat berbeda. Bagi pemirsa lain yang tidak berhati-hati dan atau tidak menyadari hal ini, potensial terjadi kesalahpahaman yang fatal.

Yang menarik, setelah saya runut ulang, saya merasa defensif karena penggunaan istilah "orang-orang Indonesia" oleh GAM. Ini wajar. Mereka menggunakan sudut pandang mereka, di mana orang-orang yang bukan ACEH, bukan GAM, adalah orang Indonesia. Militer adalah "pihak Indonesia". Sehingga, walaupun saya bukan suporter militer, saya merasa diserang juga saat "orang Indonesia" diserang. Ini mengejutkan! Sejak kapan saya merasa saya "orang Indonesia" ? Jujur saja lah, dalam kehidupan sehari-hari, dari bangun pagi hingga tidur lagi, berapa kali kita merasa apa yang kita lakukan itu adalah karena kita adalah warga negara Indonesia?

Jadi semua kegelisahan ini adalah gejolak nasionalisme.

Saya? Seorang nasionalis?


Comments

Anonymous said…
Nyeh, bert, elu mah kebanyakan cemas sama masalah yang gede-gede, elu lupa sama diri sendiri. Dan masalah yang kecil yang simpel.
Yap, elu indonesia banget dah!

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again