Tulis Sejarahmu


Hingga saat ini, 8 tahun setelah peristiwa reformasi tahun 1998, belum ada catatan sejarah yang menjelaskan dengan detil apa yang terjadi pada masa itu. Memang sudah ada sekitar 5 buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh besar dalam strata pemerintahan tahun itu, 4 oleh orang militer, dan satu oleh teknokrat, tapi semua buku itu berbantahan. Seperti debat kusir dalam bentuk buku.

Masih berhubungan sama pencatatan sejarah, ada yang inget nggak kalo tanggal 1 Oktober kemaren hari Kesaktian Pancasila? Kayanya banyak orang yang milih buat nggak ingat dan nggak perduli. Mungkin alasannya adalah bahwa itu nggak penting, bahwa kesaktian pancasila adalah jargon orde baru, bahwa itu nggak relevan lagi, dlsb.

Sebenarnya hari itu masih tetap harus diingat walaupun mungkin nggak dirayakan. Diperingati, diingat ulang. Mengingat bahwa apa yang sebenarnya terjadi pada hari itu masih merupakan misteri besar. Baik buat yang hidup pada era tersebut maupun bagi generasi yang hidup setelahnya.

Dari beberapa orang yang berusaha membuat catatan sejarah penjelas baik itu berupa penelitian media macam skripsi temen gue, ataupun dalam bentuk film dokumenter, semuanya terbentur pada satu masalah yang sama: birokrasi. Beberapa badan pemerintahan sebenarnya masih menyimpan penggalan catatan tentang apa yang terjadi pada kedua masa itu. Untuk mengaksesnya dibutuhkan sebanyak mungkin relasi penting yang bersedia memberikan katabelece, dan juga kegigihan merayu para pegawai yang memegang kunci penting penyingkap misteri tersebut. Usaha berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tetap akan menemui jalan buntu berupa "ini out of the record lho ya, dik". Ditambah sebuah dokumen bermaterai yang harus ditandatangani, menjamin materi yang off the record tersebut tetap off the record.

Pada kasus sejarah tahun '65, setelah empat dekade berlalu, kenapa masih begitu takut membuka mulut untuk menceritakan fakta? Di negara yang banyak dosa macam Amerika Serikat, dokumen pemerintah boleh dibuka setelah mencapai usia tertentu, kalau tidak salah minimal 30 tahun. Bangsa ini menunggu apa supaya boleh buka mata dan buka mulut untuk bicara?

Pencatatan sejarah sangat penting bagi pembelajaran bangsa. Kalau sejarah tidak pernah dicatat, bagaimana generasi yang baru bisa belajar dan menghindar dari kesalahan yang sama?

saat merenungkan hal ini, mendadak jadi tersadar suatu hal yang lucu. Setelah empat dekade, masyarakat umumnya masih menganggap "PKI" sebagai momok. Nggak jarang di tepi jalan tahu-tahu ada poster atau spanduk yang isinya menggalang kewaspadaan terhadap "bahaya laten" yang adalah "komunisme". Entah "komunisme" macam apa yang ada dalam pikiran mereka. Yang jelas "komunisme" ini semacam monster yang akan memangsa generasi muda bangsa. Mungkin sejenis barong atau butha atau kala yang bisa dihalau dengan prosesi tolak bala berupa spanduk dan poster itu tadi.

Pernah suatu ketika, saat ditanya pengalaman masa tahun '65, salah seorang kenalan saya yang mengalami langsung masa itu menjawab: "Komunis itu nggak beragama. Makanya biadab mereka itu. Ngebunuh, ngerampok, merkosa. Nggak suka mereka sama orang beragama."

Seakan-akan wajar kebiadaban itu, karena komunis nggak percaya tuhan, dan ini adalah negara yang beragama yang pengen para komunis hancurkan.

Nah, sekarang pertanyaannya, kalau ada orang bertuhan dan beragama tapi terus ngebakar rumah orang lain yang bertuhan dan beragama juga, dan mungkin ditambah ngebunuh dan merkosa, pake alasan tuhannya paling benar.... apa ini nggak biadab juga namanya? Apa ini nggak menghancurkan negara beragama juga?

Katanya demokrasi Pancasila itu menjunjung tinggi toleransi... kok kenyataannya sebelas-duabelas sama "komunisme" ya?

Comments

Anonymous said…
Benernya komunisme itu ga jelek lagih, itu kan sistem yg dibentuk, yg menurut founding fathers-nya, adalah bentuk paling cocok buat ekonomi dan politik mereka, kalo yg kapitalis ga cocok. Tapi tiap sistem punya kelemahan, itu aja. Masalah ada bunuh2-an segala, itu tergantung dari orangnya, bukan pahamnya, kecuali paham yg bener2 jahat abis. Orang jahat ada di semua paham dan aliran dan agama kok, they exist even in the most sacred place, yang malah bikin orang nyalahin alirannya daripada person-nya.
Ya iya sih kalo udah kalap pasti logika ga jalan, apalagi kalapnya bareng2 dan kompakan, rule yg berlaku hanya satu: no rules.
Anonymous said…
If you tolerate this than your children will be next..

Gitu kata Manic Street Preacher, Mindang...

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again