Some Things Are Better Left Unspoken Not Pt.2

Some Things Are Better Left Unspoken Not Pt.2

Selama ini gue selalu dijutekin sama orang ini, and it shattered my heart completely once, sehingga sebetulnya akan lebih mudah buat gue kalo membenci dia. Masalahnya, susah buat tetap benci kalau dia mendadak jadi manis dan baik ke gue. Karena gue paten bukan jenis orang yang seperti itu. Ditambah bahwa, selain karena dia jutek duluan, gue nggak pernah bener-bener punya alasan mendasar buat membenci dia. Gue bukan jenis orang seperti itu.

Untuk sejenak gue bingung kenapa gue harus merasa bingung. (halah)

Lho? tapi serius juga ini bingung. Yang bikin gue heran, penting nggak sih kebingungan ini? Apa yang menyebabkannya? Kenapa gue mikirin? Perlu nggak dipikirin? Dan sederet pertanyaan-pertanyaan fundamental filosofis lainnya, yang amboi, membuat gue berharap gue sungguh jenis orang yang nggak pake mikir. Ignorance is really a bliss, dan bukan omongkosong bagi gue.

Balik ke bingung yang tadi. Kalau mau nggak pakai mikir, begitu orangnya baik, langsung gue juga jadi baik. Tapi ada yang rumit di sini.

Perkenalkan kelemahan gue: namanya kurangnya kontrol beungeut. Pada kasus yang sedang kita bahas ini: sementara pikiran gue mengatakan "Bah sebel!" tapi ekspresi gue menyatakan 180 derajat kebalikannya. Yang adalah bikin gue dazed and confuse. Dazed and confuse enough to contemplate it.

Gue nggak suka sama yang namanya muna. Muna itu mainan anak SMP anak SMA. Yang umurnya udah di atas 80 musim rasanya udah nggak pantes muna lagi. Dan gue udah seratus dua musim waktu nulis ini. Rasanya aneh waktu menyadari orang lain muna, lebih aneh lagi waktu sadar "kok gue muna gini rasanya?"

Kenapa pikiran gue bilang akan lebih mudah buat benci? Kenapa gue harus tetep sebal? Kenapa jadi harus merasa muna?

Took me almost a week to decode myself. Hebat ya... padahal masalahnya sepele. Saking begonya sih. Otaknya nggak beres emang.

Ada beberapa premis dalam bahasan ini:
1. Mama Gajah selalu ingat luka (mudah trauma, ceritanya)
2. Mama Gajah berpikiran terbuka


BAHASAN:

1. Bo, gue pernah berderai-derai darah dan airmata kena hantaman jutek beruntun dari orang ini. Sampai-sampai supaya what don't kill you makes you stronger, gue berusaha membiasakan diri dijutekin dan menjutekin dia. Bagaikan flm ninja dimana seorang kunoichi jadi kebal racun dengan minum racun itu sedikit-sedikit tiap hari.

2. Bener-bener kaget dan nggak siap waktu tiba-tiba dia jadi manis dan baik, sementara gue masih berdarah-darah dan terngiang-ngiang beberapa komen dan ungkapan yang dia lontarin buat gue. Substansial banget, pula.

3. Sementara itu, secara alamiah gue nggak bisa terus-terusan jutek kalo dibaikin. (once again, not that kind of person)

4. Padahal, gue masih takut diinjek-injek lagi sehingga gue nggak mau percaya pada kebaikan mendadak itu. Gue nggak mau percaya dia tulus mau merubah sikap dan pikirannya ke gue, atau bahwa dia mampu melakukannya. (logis, mengingat Gajah nggak mudah lupa luka)

5. Tapi gue kan selalu berusaha berpikiran terbuka mengenai hal-hal dan orang-orang!!! (yang adalah premis mayor) Sebagai gue yang nggak suka dijadikan persona non grata tanpa alasan, gue jelas nggak boleh melakukan hal yang sama pada orang lain. Simpel.

6. Tapinya juga gue nggak mau jatuh ke lubang yang sama lebih dari dua kali! Selain sakit, itu bego! (am not that stupid, or atleast trying to be)


KESIMPULAN:

a. Wow, capek!

b. Secara klise, akan dikatakan bahwa hanya waktu yang bisa menjawab semua bahasan di atas.

c. Kemungkinan kecemasan ini adalah karena memang mendekati puncak siklus bulan purnama. (Bah, klenik kali)

d. Kecemasan ini nggak akan bisa membayar uang kos gue, uang makan gue, dan ditabung buat gue pergi jalan-jalan.
Jadi Mama Gajah! Apakah kita merasa tenang sekarang?
Yaaaah... lumayan.
Heee :)
Bisa la la la lagi nih sepetek... Yihuuu...

Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Main ke Desa