Some Things Are Better Left Unspoken Not

Some Things Are Better Left Unspoken Not

Ngebandingin cerita itu kaya pedang bermata dua. Di satu sisi bisa jadi seneng kalau ternyata ceritanya cocok dan jadi ada justifikasi tentang suatu hal yang diyakini. Di sisi lain, bisa jadi nemu suatu fakta yang tadinya nggak diketahui, dan fakta baru ini nggak selalu bagus, memberikan efek kejutan yang nggak menyenangkan.

Tadi malem gue ngebandingin cerita sama Bert, masih ada kaitannya dengan yang gue bandingin sama Dugong Ratu dan Nona Jaket Biru. Beberapa fakta baru sebetulnya nggak terlalu baru, soalnya gue juga udah pernah denger hal semacam itu, dan gue bisa nebak-nebak soal fakta itu. Tapi entah kenapa pas denger beneran, rasanya kaget juga, rasanya sakit juga. Mungkin karena dalam hati gue sebetulnya nggak berharap mendengarnya ternyata benar? Butut banget soalnya, men.

"Saya gampang trauma"
Oh hey, coba tebak! Gue juga lhooo... Untuk berbagai alasan satu dan lainnya, orang seringkali menyangkakan Mama Gajah ini nggak bisa sakit hati, nggak punya perasaan, dan nggak pernah mikir serius. Ini udah basi banget, dan gue kira semua orang yang pernah ngobrol sama gue lebih dari tiga kali udah bisa menghapuskan prasangka ini. Bo... namanya aja PRA-SANGKA gitu lho.

"Selalu kelihatan bete"
Kalau pada dasarnya situ bete juga, bagaimana sini bisa jadi ceria? Gue juga nggak mau waktu berusaha ceria, tapi malah tambah bete. Kaya gue bukan orang aja. Yang ada, gue ini paling gampang keseret bete orang. Bukan gue yang nyeret orang buat jadi bete. Kecuali kalo PMS... ahahaha... but seriously... Gue aslinya punya kecenderungan excessive happiness juga. Kenapa sisi gue yang gampang ceria ini nggak diliat juga sih?

Gila, kalaupun gue bete bukan lantas tanpa alasan. Pasti ada alasan untuk jadi bete dan sungguh, lebih nggak perlu alasan buat gue merasa ceria. Gue bete karena memikirkan sesuatu. Keceriaan gue bisa jadi karena ada sebuah "pencerahan" pemikiran, tapi lebih seringnya gue ceria karena nggak mikirin apa-apa. Dari logika ini saja bisa dilihat bahwa, gue harusnya memang lebih sering ceria daripada bete.

Ah kotoran burung ini masalah ceria dan bete. Mau mikir sampai bete kok dibatasin orang lain. "Cogito Ergo Sum" bukan?

Hmmh, kalau memang you think therefore you are, maka, memang terserah situ mau mikir apa dan sini mau mikir apa, sih. Lakum Dinukum Waliyyaddin juga sih. Terserah situ mau percaya apa, jangan ganggu sini punya percaya. Keep your mind open gitu, ceritanya. *ngaca*

*sigh*

Sampai pada suatu waktu gue berusaha merumuskan diri sendiri. Bagaimana mestinya bentuk gue. Menurut gue bentuk seseorang itu bisa dilihat dengan beberapa sudut pandang. Bagaimana dia melihat dirinya sendiri, bagaimana pandangan orang lain ke dia, bagaimana dia "berkaca pada orang lain" dan bagaimana "orang lain berkaca padanya". Yang kesemuanya adalah tricky business.

Beberapa orang sudah bilang dan gue tahu juga walau kadang inget kadang nggak, bahwa gue nggak luwes ngadepin orang. Gue nggak bisa bohong hanya supaya orang lain bisa puas sama gue sementara dalam hati gue menderita. I have a quite honest expression and disposition. Contoh: Mama Gajah berdasarkan fungsi sosial harus ketemu Ratu Gombal yang Mama Gajah sedang sebal dengan kekuatan penuh. Yang terjadi adalah; malas bicara, wajah menunjukkan kesebalan kekuatan penuh. Dan Mama Gajah akan menghindari semua kemungkinan yang berkaitan dengan Ratu Gombal, sampai dengan sebal itu lenyap.

Kalau kekakuan ini kemudian menimbulkan masalah pada saat berhadapan dengan orang-orang lain yang tak kalah kakunya, apakah lantas gue:
a. memutuskan untuk sertamerta jadi luwes, atau
b. tetap kaku dan berharap supaya orang lain itu sertamerta jadi luwes, atau
c. pergi saja,
adalah keputusan dalam pola yang tidak bisa ditentukan bahkan oleh gue sendiri. Nggak bisa A terus, atau B terus, atau C terus. Dan karena gue ini nggak pernah mikir panjang, maka otomatis gue juga menganggap orang lain akan melakukan hal yang sama dengan gue. Bahwa orang-orang akan ambil jeda sejenak untuk evaluasi sambil terus berjalan dengan praduga tak bersalah dan pikiran yang tetap terbuka. Tapi ternyata manusia itu memang diciptakan beraneka ragam. Some people I know rather chose to put certain labels on me, which was enraging, since I didn't label them. What right they have to do such thing to me? Did labeling me solve their problems? If it did, well, good on them. Tapi, label mereka buat gue itu mungkin nggak cocok buat orang lain kan? Surprisingly, for me, what certain people did next was introducing their labels for me to everybody else. "Come on, people, bandwagon with us and crush this Mama Gajah personae!"

*sekilas ingat beberapa organisasi pembela dan forum di Endonesya*

The deity knows how much I tried to keep an open mind. Tapi pikiran terbuka dan tertutup adalah sebuah topik yang kadang membuat gue bingung sendiri. Seperti dalam pekan ini.


Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again