Promethean

MENUNGGU HERAKLES

Waktu baca ini gue tiba-tiba sadar kalo selama ini gue nggak terlalu tersentuh dan tergerak dengan yang namanya matahari terbit.
Kenapa ya?

Sebetulnya gue nggak pernah terlalu suka matahari. Padahal sebagai anak kecil di Surabaya, gue akrab dengannya. Gue berani berlarian, bersepeda, dan berjalan-jalan ditemani dia. Tapi entah kenapa, nggak satu kalipun gue menganggap matahari terbit itu istimewa. Kalau matahari terbenam iya. Gue lebih pernah duduk atau berbaring di atap mengagumi pantulan sinar merahnya di awan-awan keemasan berlatar langit biru. Gue lebih pernah bergandengan tangan dengan yang terkasih dan merasa begitu syahdu di bawah senja yang cerah pulau itu. Tapi matahari pagi?

Gue mungkin adalah satu-satunya orang di antara temen-temen deket SMA gue yang belum pernah ke Bromo buat menyaksikan matahari terbit. Gue memang adalah satu-satunya orang di keluarga gue yang nggak pernah melakukan itu. Waktu terakhir pusat alam semestaku, Yang Mulia Ibu, pergi ke sana untuk berpelesir, beliau mengajak adik gue. Bokap kayanya juga udah kenyang dengan romantisme pemandangan matahari terbit dari atas gunung. Waktu muda, selain bajingan cinta, dia juga petualang pegunungan.

Pam adalah salah satu orang yang bilang menyaksikan matahari terbit itu seperti mukjizat. Semacam pengingat bahwa hidup ini indah, bla bla bla... Seperti beberapa literatur dan film-film pernah bilang juga. Booo, bahkan di Sesame Street juga pernah dibahas ini sama Big Bird, Elmo, Ernie, dan Prairie Dawn. Orang-orang di deket gue juga sedemikian sukanya dengan matahari terbit, sampai-sampai gue mikir "Njis, kayanya gue sakit banget yah, nggak bisa menikmati hal ini".

Mungkin karena selama ini gue nggak pernah mengasosiasikan matahari terbit dengan sebuah awal baru, dengan kebahagiaan, dengan apapun yang monumental dan spektakular. Cenderungnya, matahari terbit identik dengan hari baru yang gue merasa pesimis menghadapinya. Ini mungkin ada hubungannya dengan depresi yang pernah nempel ke gue sampe tahunan itu.

Jangan salah, gue pernah sengaja bangun pagi, lalu bermandikan sinar mentari yang masih hangat lembut seperti mentega... Ini konon mengurangi lethargy dan depresi. Hmh.. tapi kayanya lebih ke sugesti deh, soalnya ngefek banget juga nggak.

Terus waktu baca postingan Dita, gue mikir... mungkin gue kena sindrom Prometheus yang menganggap pagi hari itu semacam kotoran burung yang mematuki jerohannya sampai matahari tenggelam lagi. Prometheus, seperti gue, mungkin lebih suka musim dingin soalnya pagi hari lebih pendek daripada malam harinya.

Kalau Prometheus saja akhirnya terbebaskan, kapan Herakles-ku datang?

NB: Kalau Herakles-nya si Kevin Sorbo, mungkin gue nggak mau... Euh, kalau Arnold Scwarhzenegger? Hehe... mungkin mau, wong dia gubernurnya Kalifornia! AHAHAHAHA...

Comments

dita said…
Trus kata siapa Dita suka matahari terbit? Kayaknya semua matahari terbit selalu gw pandangi dengan mata ngantuk :) Mungkin sunset lebih cocok buat gw. Tapi berhubung cowok itu sukanya matahari terbit... hehehhe... :D
Anonymous said…
Maksud kamu Matahari Department Store? Tempat hedonistik-kapitalistik-satanistik-insanistik itu emang sama sekali nggak nikmat dan indah. Bahkan perlu dienyahkan secepatnya.

Eniwe. Ada benang merah antara Prometheus dengan Lucifer. Menarik bukan?


camarmerah

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Monster Playgroup (Pt. 1)