Kastil Pompoko

A Journal of Another Realm
Akhir-akhir ini nggak butuh waktu limabelas menit buat ingat mimpi. Memang nggak lengkap dari awal sampai akhir, tapi sebagian besar mimpi itu teringat sama gue.

Malam tadi mimpinya terbagi jadi dua cerita yang berbeda. Tentang gue yang punya tiga teman dekat, dan kami mau bersenang-senang ke suatu tempat setelah semacam ujian atau pekerjaan. Karena kendaraan yang terbatas (sepeda motor) diputuskan kami akan berangkat dalam dua kloter. Lalu gue dan temen gue memutuskan naik motor temen gue aja. Yang tadi diparkir di garasi rumah dia di ujung gang.

Bukannya balik badan dan lurus saja, temen gue malah ngajak belok ke kanan. Kenapa muter? Kata temen gue, lewat situ akan lebih cepet. Walaupun secara logika ini nggak jalan, gue nurut aja. Kami belok ke kiri lagi masuk ke sebuah gang yang jalannya menurun. Kami jalannya pelan-pelan, padahal dua lagi temen kita udah berangkat duluan, dan kayanya kita atau gue nggak cemas kita bakalan kesasar atau ketinggalan dari mereka. Sambil jalan kita ngobrol.

Dari atap rumah-rumah perkampungan itu gue bisa melihat sebuah bangunan yang aneh. Seperti pucuk sebuah taman hiburan. Ada menara-menara tinggi dengan atap runcing, semacam lintasan rollerlcoaster keperakan yang melingkari menara-menara itu bagai cincin saturnus dan sebuah lengkung bianglala raksasa.

Gue : "Ih, bagus banget itu."
Temen : "Bagus gimana? Itu kan kastil itu."

yang dimaksud kastil itu, adalah kastil yang pernah gue mimpiin sebelumnya kayanya. Berarti mimpi kali ini gue masuk lagi ke dimensi yang itu. Dimensi yang ada kastil itu. FYI, kastil itu tadinya memang adalah sebuah amusement park. Tiba-tiba kastil itu dikuasai oleh semacam kekuatan gaib dari keluarga penyihir berbentuk seperti hewan musang. Katanya mereka ini bikin kacau, karena itulah banyak orang yang berusaha membasmi mereka.

Banyak orang yang sudah terbantai mencoba membasmi mereka. Nggak ada yang pernah bisa sampai ke tangga menara yang ada duabelas tingkat itu. Cara membasminya adalah mencari puncak menara lancip manakah yang ada merekanya, lalu si pembasmi harus naik ke menara itu untuk membasmi mereka. Masalahnya, selain nggak mungkin untuk tahu secara akurat mereka ada di puncak menara yang mana sebab menara itu ada empat atau lima, jalan naik ke menara dari pintu gerbang dipenuhi jebakan dan monster; salah satunya adalah pasukan srigala jejadian haus darah setinggi tiga meter. Serigalanya cukup keren. Bulu mereka abu-abu biru keperakan, matanya hitam kelam dengan gigi tajam putih berkilauan. Kaki-kaki mereka ramping dengan telapak kaki yang besar dan cakar bagaikan kilauan petir. Mereka bergerak sangat lincah dan tampak seperti selalu gelisah.

Bahwa banyak yang mati berusaha masuk ke sana membuat masyarakat sekitar resah. Apakah keluarga musang penyihir ini meneror perkampungan di luar kastil mereka, gue nggak tahu. Tapi mereka dipandang sebagai jahat, dan kastil itu sebagai sumber kejahatan.

Pas lagi jalan itu, di belakang gue ada dua orang nenek dan seorang kakek; kecil, bongkok, keriput, dengan muka totol-totol akibat usia. Kakek dan salah seorang nenek itu pakai baju kimono. Pasangan tua berkimono itu berambut hitam, abu, semburat keperakan dan berkilau dan ditata ke atas. Entah kenapa muka mereka di mata gue nampak seperti bukan muka manusia. Bahkan gue yakin muka mereka itu kaya ditumbuhi bulu alus-alus warna coklat muda. Kimono mereka warnanya ungu tua buat si kakek, dan peach terang buat si nenek. Kainnya berkilauan gitu. Motif kainnya sama, seperti semacam urat-urat warna hitam di tepian kainnya.

Nenek yang satu lagi malah kelihatan seperti anjing peking sekilas. Mukanya lebar dan lembek tapi kulitnya bersih, nggak ada totol-totol usia. Matanya besar dengan kantung mata, bibirnya tipis kecil dan pakai lipstik merah mencrang. Dia pakai baju cina warna merah cabe dengan hiasan bordir kuning emas dan biru. Rambutnya putih kekuningan dan dipotong bob. Wajahnya seperti selalu tersenyum dengan sorot mata aneh. Waktu kami bersirobok pandang, dia tersenyum.

Ketiga orang itu sibuk membicarakan sesuatu yang nggak bisa keingat jelas. sepertinya mereka habis pergi ke suatu arisan atau semacamnya bareng-bareng. Pasangan berkimono itu yang paling ribut, sementara si nenek peking bob itu sepertinya cuma berusaha melerai. Jalan orang-orang tua aneh lumayan cepet juga dengan kaki-kaki mereka yang kecil dan pendek. Pasangan berkimono itu malah pakai geta. Di salah satu belokan tiba-tiba si nenek berkimono nyelonong ke tempat sampah gede yang kuning itu lho. Gue sampai ngejerit kaget. Waktu itu, dalam mimpi gue mikir si nenek ini agak mabok apa karena udah tua sampai pusing-pusing terus jatuhnya ke tempat sampah. Si nenek peking bob teriak juga, tapi malah kedengeran kaya marah. Gue sempet mematung sekian detik, berniat membantu nenek itu berdiri, tapi entah kenapa nggak jadi. Mungkin karena si kakek kimono langsung lari membantu nenek itu berdiri dan nggak kelihatan kesulitan. Sambil kebingungan gue terus jalan, sambil sesekali noleh dikit untuk memastikan ketiga orang uzur itu baik-baik saja.

Tahu-tahu ketiganya jalannya udah di depan, menyalip kami, lalu si nenek peking bob jalan terus masuk ke sebuah gang cul-de-sac, sementara pasangan tua berkimono itu belok ke kanan. Saat itu gue kaya ngeliat sekilas bayangan bentuk tulang daun warna hitam melayang-layang di dekat kakek dan nenek berkimono itu. Cuma sebentar. Bentuknya lumayan keren, bisa buat tato.

Pada detik itu gue memutuskan bahwa kita jalan terlalu pelan dan gue nggak sabar. Makanya gue ngajakin temen gue lari. Kami lari lurus masuk ke cul-de-sac itu! Waktu masuk ke cul-de-sac, yang ternyata adalah halaman rumah si nenek peking bob, nenek itu keluar.

Nenek Peking Bob: "Eh, mau ke mana kalian?!"
Gue: "Maaf, kami buru-buru. Kami mau numpang lewat aja kok. Mau ambil jalan pintas. Maaf ya. Cuma numpang lewat kok"

Sambil bilang gitu, tahu-tahu... kami lompat, dan ... lompat aja ke atap. Dan kayanya, dari awal, memang itulah jalan pintas yang dimaksud temen gue soalnya kalau kami turun dari atap itu dan belok ke kiri udah garasi rumah dia.

Eniwey, di atas atap itu pemandangan kastil itu tambah jelas. Tahu-tahu gue memutuskan buat menoleh melihat nenek peking bob itu. Mata kami bersirobok pandang lagi. Dia senyum. Di kepala gue terdengar suara "oh, jadi kamu orangnya." Waktu kayanya melambat di detik gue melihat kastil dan menoleh. Sesudahnya waktu berjalan normal lagi dan gue lompat turun dari atap itu.

Tiba-tiba setting mimpi gue berubah ke sebuah sekolah. Ceritanya gue lagi di kelas, duduk di meja gue. Terus tahu-tahu gue nulis pakai kanji di atas kertas a3. Si nenek, berusaha berkomunikasi dengan gue. Dan gue bisa baca kanjinya aja dong. Jadi kami kaya smsan gitu pakai kertas. Waktu tahu begitu, gue malah jadi marah.

Gue: Mau lu apa?
Nenek: Saya cuma pengen ngobrol sama kamu.
Gue: Sudah, jangan, gue nggak mau.

Terus sebelum gue bangun, gue sadar sesuatu. Pasangan berkimono itu adalah orang-orang dari kastil itu. Mereka berdua musang. Makanya gue ngeliat bayangan lambang mereka yang tulang daun itu, makanya mereka nggak keliatan kaya manusia di mata gue. Nah lho?

Dan gue kebangun...

Comments

kwakwakwakwa.. gue jadi inget dvd pompoko gue jaman baheula.. dipeinjem seseorang dan tiada kembali kembali.. apakah untuk selamanya?? hmm .. ndak papalah.. tapi jadi inget scene cewek sepedaan dengan muka rata itu ..

kwakwakwakwakwakakak...!!

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again