023

Tadi malam mimpi aneh.
Mimpi Ophelia dan Hamlet. Tapi ceritanya nggak kaya Hamlet Shakespeare.


Hamlet pria tinggi besar dengan rambut dan jenggot perak dan berusia paruh baya dan sudah memiliki istri. Dia menguasai sebuah perusahaan sebesar negara bagaikan kaisar mini. Wajahnya penuh garis-garis usia dan bijaksana, suaranya berat dan dalam, matanya entah abu-abu atau biru aku lupa, gerak-geriknya yakin dan tak tergesa-gesa. Dia tak banyak bicara.

Kami jatuh cinta.

Dengan begitu tentu saja aku Ophelia.

Entah rumah tangga macam apa yang Hamlet punya. Istrinya berperawakan besar dengan rambut keriting pirang, hidung mancung bangsawan, dahi tinggi dan mata biru. Dia tidak pernah tidak kaya. Usianya pun paruh baya. Aku tak tahu banyak tentang istrinya kecuali bahwa dia membenciku karena suaminya jatuh cinta padaku yang usianya tak jauh dari anak mereka. Aku tak perduli padanya.

Hamlet menemuiku di sore-sore yang sejuk, datang ke tempatku yang berjendela besar dengan tepian plaster putih yang berukir, kami menghabiskan waktu berbicara mengenai buku atau film atau pemikir-pemikir besar yang sudah mati atau bercinta ditemani musik klasik dan anggur.

Aku tak pernah memintanya datang. Aku tak pernah mengekangnya untuk tidak pulang ke pangkuan istrinya waktu malam menjelang.
Aku tak pernah berpura-pura jadi orang lain. Aku menunjukkan padanya sprei penuh tinta akibat aku tertidur saat menulis dan alpa menutup mata penaku hingga bernoda biru di mana-mana. Dia tidak keberatan aku memakai sprei itu karena aku tak punya yang lain. Dia tidak mau mengubah aku. Dia tidak memaksaku menggantinya dengan membelikan yang baru. Di atas sprei itu kami bercinta dan kami merasa bahagia. Itu seperti sebuah rahasia kecil yang kami punya. Seorang raja kecil bernama Hamlet dan simpanannya yang bernama Ophelia bercinta di apartemen mungil berjendela putih besar di atas sprei kumal bernoda tinta.

Sampai akhirnya istrinya tahu.

Istrinya menghubungiku, entah menelpon entah bertemu muka. Dia melarang kami bertemu Hamlet karena dia istrinya dan dia punya hak sedangkan aku bukan siapa-siapa karenanya aku tak punya. Entah apa yang terjadi dalam rumahtangga Hamlet setelah itu karena dia pun berhenti datang padaku.

Aku tak pernah memintanya datang sebelumnya, tapi kali ini aku merasa harus. Mungkin aku merasa terhina karena mungkin istrinya telah mengataiku sebagai sundal pelacur binal.

"It was not I that came to you, Hamlet. You came to me. I never hold you back from her, either. Why hadn't you say anything? You said once you love spending time with me. I said once that it was enough. Not anymore. Now I want the world to know."
Dengan surat itu aku mengirimkan sebotol anggur dari merek yang sering kami minum bersama, jenis buah dan makanan lainnya yang sering dia makan saat kami bersama, piringan hitam berisi musik yang kami dengarkan saat kami bercinta, dan sprei itu yang bernoda tinta yang di atasnya kami sering bercinta. Aku tak mencantumkan namaku, hanya alamat rumah orangtuaku. Dan dari situ saja istrinya langsung tahu siapa yang mengirim bingkisan itu.

Istrinya yang membuka bingkisanku di hadapan suaminya. Membeber sprei yang memalukan itu lebar-lebar dengan jari-jarinya yang besar gemuk dan dihiasi cincin-cincin dan gelang-gelang emas berbatu berharga. Hamlet terpana melihat sprei itu dan tanpa berkata apa-apa dia pergi menjemputku kemudian membawaku ke rumahnya. Sarang istrinya.

Menurutnya bukan rasa malu yang timbul saat melihat sprei itu. Meskipun istrinya menunjukkan wajah jijik dan tidak mengerti saat membentangkan kain itu lebar-lebar dengan bantuan jongos di ruang tamu. Menurutnya itu membuatnya senang bahwa memang aku mencintai dia. Menurutnya aku tak pernah minta apa-apa darinya dan dia merasa dia harus memenuhi permintaanku kali ini. Agar semua orang tahu bahwa Ophelia yang bukan istrinya ini dia cinta. Dia akan menunjukkan pada isi rumahnya juga. Sehingga mereka tahu dia ada di mana dan dengan siapa bila tidak di rumah bersama istrinya.

Di luar dugaanku istrinya menyambutku ramah. Entah rencana jahat balas dendam macam mana yang terbetik di pikirannya saat ia menjamuku dengan makanan dan minuman di ruang tamu mereka. Menatap dirinya yang dibalut kemewahan itu saja aku tak mau. Sepertinya masih terngiang di telingaku segala caci maki yang dia lontarkan pada wanita yang dia anggap sundal ini. Hamlet berdiri di kursi di belakangku. Mungkin kalau istrinya tiba-tiba menerkam dan mencakarku dia ingin bisa menangkiskannya dengan mudah.

Setelah menjamuku istrinya berkata, "So, my dear Ophelia, tell me. I want to know your famous ways to get men to fall in love with you." Suaranya seperti wanita bangsawan yang berpendidikan tinggi pada umumnya. Dengan logat yang sempurna dan lekuk-lekuk tekanan tak kentara dalam nada suaranya yang menyamarkan isi pikiran dan arti sesungguhnya dari kata-kata itu.

Tanpa menatapnya sama sekali dan malah melirik ke siluet Hamlet yang terpantul di ruangan itu aku pun menjawab, "Well, first you have to find the tallest, most shy handsome man in the room...."
Belum selesai aku bicara aku tersedot dalam pusaran warna sepia yang membawaku kembali ke kamarku. Aku terjaga. Begitu membuka mata dalam hatiku terbersit rindu pada Hamlet. Apa aku akan memimpikannya lagi? Aku merasa patah hati tak bisa melihatnya lagi.

Comments

'Hamlet pria tinggi besar dengan rambut dan jenggot perak dan berusia paruh baya dan sudah memiliki istri. Wajahnya penuh garis-garis usia dan bijaksana, suaranya berat dan dalam, matanya entah abu-abu atau biru aku lupa, gerak-geriknya yakin dan tak tergesa-gesa. Dia tak banyak bicara.'

deskriptif berat buat sebuah mimpi yang sarat, dahsyaatt :))

iseng2lah doodling sebentar pake pen, udah lebih dari cukup deskriptif di atas utk 'bring back to life' itu penampakan sang hamlet yang membuatmu merasa patah hati dan membuat tak mampu melihatnya lagi, hehehehe ... mimpi yang dahsyat ...

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again