I Love Pak Raden
Sabtu siang, gue pergi ke Selasar. Di sana lagi ada acara workshop menggambar buat anak umur 6-10 tahun. Gue bukan nganterin anak atau ponakan ke sana. Gue ke sana karena pengen ketemu Pak Raden!
Pak Raden adalah Drs. Suhadi yang memakai beskap lengkap dan blangkon, kumis palsu yang super tebal, dan sepasang alis yang tebal pula. Semua anak yang pernah nonton serial sandiwara boneka si Unyil di TVRI tahun 80an pasti kenal siapa pak Raden. Belakangan di milenium ini, Si Unyil muncul lagi di TV, tapi sudah SMP, dan trendy banget... dan kayanya nggak seru lagi. Gue nggak tahu apakah tokoh Pak Radennya masih seberkesan Pak Raden yang tahun 80-an.
Pak Raden bercerita sambil menggambar. Di papan tulis beliau menggambar sambil bercerita. Gambarnya rapi, ceritanya asyik. Anak-anak semuanya memperhatikan dengan semangat. Gue sendiri sampai mangap saking konsennya ke papan.
Di cerita lainnya, Pak Raden bercerita menggunakan boneka-boneka tangan. Boneka itu tampak kusam dan tua. Beberapa gue kenal banget. Ada yang berbaju merah dengan sampiran sarung. Ada yang bajunya krem berkepala botak, ada nenek sihir berbaju abu dengan rambut konde macam mak lampir. Ini adalah boneka-boneka dari Si Unyil. Yang tahun 80-an. Anak-anak usia 6-10 tahun yang ikut workshop itu nggak tahu. Tapi orangtua dan nenek-kakek yang mengantar mereka tahu. Para fasilitator workshop tahu. Wartawan yang meliput tahu.
Lepas berdongeng, anak-anak itu diminta membuat gambar sendiri. Sementara anak-anak menggambar, Pak Raden ngaso. Wartawan maju. Gue juga.
Tadinya gue cuma pengen foto sama Pak Raden... tapi gue sendirian, dan gak kenal siapa-siapa. Pas orang-orang pada gantian berfoto bareng Pak Raden, gue celingukan. Hiks... kok jadi jiper dan malu ya? Terus akhirnya... gue emang nggak jadi poto bareng Pak Raden, tapi gue motret dia. Heh... paling nggak gue pernah berdiri dekeeeet banget sama beliau. Tadinya pengen foto sambil pelukan... tapi malu ihihi...
Malemnya ada acara peluncuran buku. Gue masih di situ karena ada Cecunguk Purba. Selain itu gue ngegantiin si Bert jadi pemandu sorak buat JIKP yang membuka acara dengan rampaknya.
Tiba-tiba lewatlah seorang lelaki dengan dituntun. Beliau memakai kemeja batik, berambut kelabu keriting tipis.
PAK RADEN!!!
Gue langsung berbalik dan berbinar-binar.
Mama Gajah : Pak Raden... Bisa foto nggak ya?
Cecunguk Purba: Eh, nggak boleh. Kamu nggak boleh motret alter-ego dia.
Hiks, sialan... itu adalah benar. Gue pengen foto bareng Pak Raden, bukan drs. Suhadi, sih. Tapi tetep gue pengen memeluk dua-duanya: Pak Raden dan Drs. Suhadi. They both looked so frail and needed somewhat of display of affection.
Atau karena gue cenderung gerontofili ya?... hiiy...
Malam itu drs. Suhadi menyanyikan dua lagu berbahasa Belanda. I wish I could tell him that every old kids who grew in the 80s miss Pak Raden so much.
Pak Raden adalah Drs. Suhadi yang memakai beskap lengkap dan blangkon, kumis palsu yang super tebal, dan sepasang alis yang tebal pula. Semua anak yang pernah nonton serial sandiwara boneka si Unyil di TVRI tahun 80an pasti kenal siapa pak Raden. Belakangan di milenium ini, Si Unyil muncul lagi di TV, tapi sudah SMP, dan trendy banget... dan kayanya nggak seru lagi. Gue nggak tahu apakah tokoh Pak Radennya masih seberkesan Pak Raden yang tahun 80-an.
Pak Raden bercerita sambil menggambar. Di papan tulis beliau menggambar sambil bercerita. Gambarnya rapi, ceritanya asyik. Anak-anak semuanya memperhatikan dengan semangat. Gue sendiri sampai mangap saking konsennya ke papan.
Di cerita lainnya, Pak Raden bercerita menggunakan boneka-boneka tangan. Boneka itu tampak kusam dan tua. Beberapa gue kenal banget. Ada yang berbaju merah dengan sampiran sarung. Ada yang bajunya krem berkepala botak, ada nenek sihir berbaju abu dengan rambut konde macam mak lampir. Ini adalah boneka-boneka dari Si Unyil. Yang tahun 80-an. Anak-anak usia 6-10 tahun yang ikut workshop itu nggak tahu. Tapi orangtua dan nenek-kakek yang mengantar mereka tahu. Para fasilitator workshop tahu. Wartawan yang meliput tahu.
Lepas berdongeng, anak-anak itu diminta membuat gambar sendiri. Sementara anak-anak menggambar, Pak Raden ngaso. Wartawan maju. Gue juga.
Tadinya gue cuma pengen foto sama Pak Raden... tapi gue sendirian, dan gak kenal siapa-siapa. Pas orang-orang pada gantian berfoto bareng Pak Raden, gue celingukan. Hiks... kok jadi jiper dan malu ya? Terus akhirnya... gue emang nggak jadi poto bareng Pak Raden, tapi gue motret dia. Heh... paling nggak gue pernah berdiri dekeeeet banget sama beliau. Tadinya pengen foto sambil pelukan... tapi malu ihihi...
Malemnya ada acara peluncuran buku. Gue masih di situ karena ada Cecunguk Purba. Selain itu gue ngegantiin si Bert jadi pemandu sorak buat JIKP yang membuka acara dengan rampaknya.
Tiba-tiba lewatlah seorang lelaki dengan dituntun. Beliau memakai kemeja batik, berambut kelabu keriting tipis.
PAK RADEN!!!
Gue langsung berbalik dan berbinar-binar.
Mama Gajah : Pak Raden... Bisa foto nggak ya?
Cecunguk Purba: Eh, nggak boleh. Kamu nggak boleh motret alter-ego dia.
Hiks, sialan... itu adalah benar. Gue pengen foto bareng Pak Raden, bukan drs. Suhadi, sih. Tapi tetep gue pengen memeluk dua-duanya: Pak Raden dan Drs. Suhadi. They both looked so frail and needed somewhat of display of affection.
Atau karena gue cenderung gerontofili ya?... hiiy...
Malam itu drs. Suhadi menyanyikan dua lagu berbahasa Belanda. I wish I could tell him that every old kids who grew in the 80s miss Pak Raden so much.
Setelah giliran adik-adik, sekarang giliran mas-mas dan mbak-mbak yang didongengin
Comments