010

JUST


Weekend kemarin, ada cewek patah hati yang memutuskan buat merusak dirinya sendiri dengan mabuk. Dia nggak pernah mabuk sebelumnya. Dia pikir mabuk itu bisa membuat dia berhenti patah hati.

Bukan, cewek itu bukan gue.

Proses gue berhenti patah hati jauh lebih busuk dan memuakkan dari itu.

Sebulan terakhir ini sebetulnya kami punya proyek yang temanya "coming of age". Pubertas. Gue nggak tahu yang lain akan menuliskannya seperti apa, gue sendiri mendadak nggak kepingin ngomongin soal cinta remaja. Malahan, terus terang aja, gue nggak tahu gue mau ngomong apa. Remaja puber tinggal di dimensi paralel yang berbeda dengan orang lain. Mereka memikirkan hal yang berbeda, bicara dengan bahasa yang berbeda.

Sebelumnya gue dan Cecunguk Purba sempet meributkan masalah pubertas ini. Dia memvonis gue mengalami kegagalan berkembang secara kejiwaan pada fase usia 5-7 tahun, terus gue juga belum lewat pubertas psikologis gue. Man, that sucks! It was hard enough when I was 15, and now I was told that I haven't even finished that process yet?

Apa sih "coming of age" secara psikologis itu? Sialnya gue lagi males nyari dan pengennya dikasih literatur yang ngejelasin hal ini. Udah gitu Cunguk nggak mau ngasih pula, dasar om-om pelit! Tapi dari sekilas yang gue tangkep, dan kayanya bener, "coming of age" adalah proses mendapatkan arti dari eksistensi diri.

Oh wow.

Ok, tadinya gue kira gue tahu gue ada di dunia ini buat apa. Nggak... kayanya gue nggak tahu pasti sih di dunia ini gue buat apa. Buktinya gue sempet depresi bertahun-tahun. hooo... the silent murderer... Jadi, kalau diliat dari sudut ini, mungkin memang benar gue emang belum selesai puber. Mungkin. Diam-diam, pelan-pelan, gue berusaha memikirkan tema pubertas itu.

Dua pekan yang lalu Dugong Ratu ngajakin gue ke kantor sebuah stasiun radio FM yang konon paling gaul seBandung Raya. Letaknya di tengah pusat perekonomian Bandung, di lantai 17 sebuah gedung bertingkat. I don't really listen to that channel. Gue menganggap topik dan gaya bahasan para DJnya agak norak dan ketinggalan. Kemudian pas gue ke sana, gue tahu kenapa.

Dalam lift ke lantai 17 kami bareng dengan seorang anak SMP yang memancarkan aura "I am so absolutely cool". Jenis-jenis kokolot begog yang pengen gue cekek dan gue tenggelemin di sungai. Sambil berusaha nggak mabuk lift karena cukup ajrut-ajrutan tiap lift berhenti di lantai-lantai yang orang mau naik, gue tiba-tiba ditegur oleh sebuah suara kecil di dalam kepala gue.

"Emangnya dulu lu nggak gitu?"

HIH! Enak aja, batin gue. Gue banget nggak gitu. Pas SMP gue polos berat. Nerd. Nggak gaul. Gaulnya ama nerd.

"Terus lu bangga? Kenapa anak itu nggak boleh bangga juga bahwa dia gaul?"

OK... Ada yang salah nih. Kenapa gue bisa lupa gimana rasanya waktu gue jaman norak gitu ya? Gue masih inget apa hirauan gue, dan apa aja yang gue lakukan, tapi gue agak lupa gimana rasanya. Gue bisa ngerti alasan-alasan gue waktu itu dan runutan peristiwa yang penting buat perkembangan pembelajaran dan keputusan gue, tapi gue lupa kenapa.

Begitu kami sampai di lantai 17 gue memutuskan bahwa gue nggak boleh menilai para remaja dan orang-orang non usia remaja yang gue temui di lantai itu. Gue nggak boleh menghakimi mereka. Tapi tetep gue nggak bisa berhenti merasa geli dan getek... Namanya juga preference pergaulan kali yee... Kalo nggak nerd, buat gue nggak keren. (halah)

Dan gue masih aja nggak bisa nemu bahasan yang tepat buat ditulis mengenai pubertas ini. Maksudnya, kayanya gue tahu... tapi gue belum sadar aja, gitu. Gue tahu pengetahuan itu sudah ada dalam diri gue dan gue yakin bisa nulis soal itu waktu gue udah memahaminya. Pemahaman dan kesadaran itu malah ngumpet di celah-celah ingatan gue. ARGH susah!

Mungkin gara-gara di bawah sadar gue masih berusaha keras memproses diri gue buat memahami pubertas itu, semua peristiwa dalam seminggu jadi gue analisa pake mindframe pubertas. Misalnya, pas tiba-tiba Onyit nanya soal hubungan fisik antara dua orang yang berasmara. Hmmh... sambil berdongeng, gue inget dan sadar kenapa keputusan-keputusan masa lalu itu gue buat. Gue udah mengulang cerita ini berkali-kali, baik dalam jurnal maupun waktu ngobrol sama beberapa orang. Dan tiap-tiap kali, gue seperti selalu mendapat pemahaman baru. Gue sadar kalo gue nggak lagi merasa dan melihat peristiwa itu seperti dulu. Gue merasa seperti semakin berjarak dengan ingatan itu. It was me, it belongs to me, but it is not the me today. Coz I know better now. I've learnt my lesson. And I felt like I've lost something. I gained something new, but I lost something, and I couldn't get it back.

Is this true? Apakah melewati pubertas itu artinya menyadari siapa lu, apa yang elu dan apa yang bukan elu? Maksudnya bener-bener sadar. Nggak cuma tahu. Apakah melewati pubertas itu artinya mendapatkan cara pandang yang baru, tapi jadi benar-benar melupakan bagaimana memandang dunia liwat kacamata yang lama? Terus karena lupa jadi nggak bisa toleransi pada orang lain yang mungkin masih pake kacamata itu?

Balik ke cewek yang memutuskan buat mabuk itu. Akhirnya dia mendapatkan apa yang dia mau. Dia bener-bener mabuk dan mabuknya pun rese. It was pathetic. Dalam mabuknya dia meracau mengenai berbagai pertentangan dalam kepalanya. Gue prihatin dan ikut nolongin yang lain buat bikin dia agak sober. Tapi gue nggak merasa iba ataupun sedih melihat dia begitu. It was her own doing. She did it to herself, dan bukan tanggungjawab gue bahwa dia memutuskan untuk melakukan hal itu cuma untuk meyakinkan diri bahwa dia masih bisa waras. Gue nggak menilai dia menyedihkan atau tolol, karena gue tahu dan sadar, yang pernah gue lakukan dulu mungkin jauh lebih sakit dan menjijikkan dari yang dia pilih buat lakukan.

Is this a new wisdom or is it apathy?

Kalau apathy adalah bentuk kebijaksanaan atau kedewasaan diri, kayanya gue nggak mau jadi dewasa yang seperti itu deh. Karena gue tahu bagaimana apathy itu samasekali nggak memberikan bantuan ataupun jalan keluar. Soalnya apathy itu masih dibarengi dengan menghakimi. Menghakimi tapi terus apathy. Males banget. Mending ignorant sekalian aja. Jauh-jauh aja sekalian, gitu.

Ah ah ah
terlalu banyak kita serius pekan-pekan ini
Nggak bagus nih buat kesehatan mental gue

You did it to yourself
You do
That's why it really hurts
You do it to yourself
Just you
You and no one else
You did it to yourself
You did it to yourself
::radiohead, JUST::

Comments

Niken said…
Menjadi diri yang sekarang itu bukan pubertas. Itu adalah being mature. "Kacamata" yang sekarang lu pake itu adalah hasil dari pengalaman yang lu alami. Makanya jadi berbeda ama "kacamata" yang dulu, yang lu pake sebelum ada pengalaman2 itu. Ibaratnya kalo kacamata beneran, kacamata lu yang sekarang udah nambah minusnya atau malah ga cuma minus tapi pake plus segala, kayak kacamata yang dipake ama nenek2 (bokap gw juga pake ding). Ahahak... - Wong Gendheng Anyaran memancarkan aura kebijaksanaannya -

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Main ke Desa