What is in a Name?

15 september 2003
Seorang kawan bertanya mengapa saya tidak pernah menggunakan nama saya sendiri untuk menulis sebuah cerita. Sebetulnya ada beberapa alasan saya tak memakai nama saya yang aseli.
Pertama, bagi saya nama adalah doa. Sebuah harapan, sebuah makna, sebuah warna utama dalam kanvas kehidupan saya. Segala macam diri saya tergambar dalam pilihan huruf, ragam kombinasi, yang terbaca oleh orang yang "mampu". Padahal nama itu, entah bagaimana muncul di benak orangtua kita.Bisa jadi direncanakan dengan seksama, atau malah comot seadanya saja. Bisa jadi nama itu cocok sekali dan membawa hoki, bisa jadi nama itu salah untukmu. Kebesaran, keberatan, sebuah nama yang terlalu buruk atau malah terlalu agung untuk diri manusia yang secara kompleks sangat sederhana.
Bila sudah terjadi demikian, biasanya dilihat melalui sejarah kesehatan si anak atau riwayat perilakunya yang sedikit kurang cocok dengan standar normal lingkunga, mereka berusaha menarik doanya kembali. Mengganti nama si anak, membatalkan kutukan yang dilabelkan pada pribadi si anak. Mereka membuat gundukan beras serba kuning dan komat-kamit mantra mereka membaptiskan nama baru, kutukan baru padamu. Mematikan dirimu yang lama dan membuatmu lahir kembali dengan rangkaian doa yang lebih cocok, lebih sempurna, sangat berbeda, berusaha membohongi nasib. Padahal di dunia ini sekali sesuatu dinamai, hingga akhir lenyap ia akan dikenal dengan nama itu. Nama itu adalah ia. Misalnya kita seumur hidup mengenal seekor hewan berkaki empat berukuran besar berwarna hitam putih dengan ambing menghasilkan susu kaya protein sebagai kangguru, maka semuru hidup kita akan mengenalnya sebagai kangguru. Orang yang mengatakan nama hewan itu sapi akan kita anggap mengada-ada. Kita tahu pasti hewan ramah pengunyah rumput itu bernama kangguru.
Ada karena sebutan. Nama adalah doa.
Kedua, bagi saya nama adalah topeng. Bila memakai topeng yang berbeda, saya adalah orang yang berbeda. Seluruh garis tangan saya berubah. Riwayat hidup saya adalah sejarah yang tergurat permanen perseribu juta mili di hitam tinta huruf-huruf nama itu. Tiap pekan saya kadang butuh jadi orang lain. Butuh nama baru. Maka nama pena adalah sebuah pribadi lain, yang lebih cerdas lebih liar lebih imaginatif dan tidak terkungkung dalam batasan dunia nyata yang mengekang.
Alasan ketiga adalah bahwa nama pena saya memang terdengar lebih keren. Walau Ayu Utami mengatakan bahwa orientasi pada sesuatu yang kebarat-baratan, kebule-bulean, sebagai ekses pribadi bangsa terjajah, saya tak perduli. Nama pena saya nama bersejarah. Ia adalah karakter yang menemani saat saya patah hati untuk pertama kalinya di usia 16 tahun. Nama seorang perempuan yang mati karena depresi oleh cinta. Agak seram memang memakai nama orang yang saya takdirkan untuk mati. Saya memang belum sempat benar-benar membunuhnya. Saya tidak pernah berhasil menuliskannya secara lengkap. Mungkin karena nama itu kebesaran buat dia yang ditakdirkan mati. Mungkin karena saya merasa masih membutuhkan dia.
Kawan saya mengatakan saya mungkin mengalami pembelahan kepribadian. Saya cuma tertawa.

Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Main ke Desa