Lapar

Siang itu saya seperti biasanya memakan menu kepepet saya, mi instan, sambil nonton televisi. Menonton televisi siang-siang bolong sebetulnya juga bukan kegemaran saya paling utama. Saya lebih suka ditemani oleh kawan-kawan saya atau media elektronik lainnya selain televisi. Ini disebabkan susunan acara setiap stasiun televisi masa kini di dominasi oleh tiga hal : kekerasan, gosip, dan klenik. tapi toh siang itu sambil menyeruput untaian mi yang panjang dan kriting, saya nonton TV.

Acaranya tak terlalu menarik. Hanya gosip pengisi waktu siang. Saya lebih memperhatikan mi yang sedang saya makan daripada tampilan visual yang tak terlalu menarik di layar TV. Selang tiga menit kemudian siaran gosip itu berakhir dan diganti dengan siaran berita singkat yang memang ditayangkan stasiun TV yang bersangkutan pada jam-jam tertentu.

Berita pertama membuat mi saya yang ngepul dan gurih itu jadi hambar dan dingin.
Seorang lelaki tua usia 70-an, yang dulunya seorang mantri desa, di sebuah desa di Kupang, NTB, ditemukan sudah menjadi mayat di gubuknya. Penyebab kematiannya, kelaparan. Yang menemukan adalah salah seorang tetangganya yang hendak mengantar makanan. (Tragis. Memang sudah waktunya ataukah sang tetangga terlambat?)
Gambar visualnya menunjukkan mayat seorang lelaki tua yang kurus kering terbaring di atas sebuah dipan tripleks, di dalam sebuah gubuk kecil dari tripleks berukuran setidaknya 3 x 4 m (kira-kira seukuran kamar kos saya sekarang), di sebuah desa yang tampak kering jika tidak gersang. Gambar itu mengingatkan saya pada liputan mengenai bencana kelaparan yang melanda Ethiopia pertengahan tahun 1980-an. Saya ingat betul karena saya yang saat itu berusia sekitar 5 tahun menangis melihat gambar liputannya di acara Dunia Dalam Berita TVRI, dan ibu saya menggunakannya sebagai alat untuk memaksa saya menghabiskan makanan saya ("Kamu buang-buang makanan padahal ada orang kelaparan"). Saya ingat betul karena hingga sekarang pun negara-negara miskin di benua Afrika banyak yang masih dicengkeram kelaparan. Tapi saya sungguh tidak percaya itu ada di Indonesia.




Bangsa ini bisa kebakaran hutan ratusan kali, menganiaya hak asasi manusia dan lepas dari hukum internasional, opressif dan repressif, sebagian besar rakyatnya berada di bawah garis kemiskinan dengan jurang kesenjangan sosial yang menganga luas dan bagai tak berdasar, aparat-aparat yang berwajib dan berwenang ketagihan birokrasi yang tak perlu dan korupsi, banyak yang masih tidak bisa membaca dan menulis, dan artis-artisnya lebih senang seni menjiplak daripada seni yang kreatif, tapi sungguh tak terbayang di kepala saya mati akibat kelaparan. Sungguh tak pernah terbayang oleh saya. Saya langsung merasa mual.

Setelah berita mengenai bapak tua yang malang dan telah berpulang itu, berita selanjutnya adalah mengenai capres dan cawapres. Saya sudah muak dan kesal sehingga saluran TV saya ganti ke acara populer yang tidak bermutu, musik dan fashion. Walau mual mi instan saya habiskan. Rasanya berdosa tidak menghabiskan gumpalan tepung mengembang instan dengan perasa artifisial itu setelah melihat berita mengenai orang yang mati karena kelaparan. Pikiran saya dipenuhi dengan bayang-bayang jenazah bapak itu di atas dipannya yang sederhana.

Kalau tidak salah ingat setelah reformasi, gencar sekali diberitakan mengenai program Jaring Pengaman Sosial, atau yang sejenisnya. Semacam Social Security Program di negara paling demokratis sejagad raya ini (dibaca : Amerika Serikat). Program itu konon dibuat karena di salah satu pasal UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia ini ada yang menyebutkan "Fakir Miskin dan Anak Terlantar Dipelihara Oleh Negara". Dananya tak main-main jumlahnya karena sesuai dengan sensus, survei, dan penelitian, jumlah orang miskin di negara ini jumlahnya banyak sekali, dan yang lebih miskin daripada miskin lebih banyak dari banyak sekali.
Tapi itu dulu.
Sekarang entah.
Kalau dipikir-pikir sebetulnya yang diamankan apa dan kenapa harus pakai jaring yang menghabiskan miliaran rupiah, yang tak jelas kemana rimbanya uang sebanyak itu.
Kok tak jelas? Lah kalau jelas, berita mengenai seorang kakek-kakek usia 70 tahun, yang dulunya mantri desa, di Kupang, yang telah meninggal karena kelaparan, tak akan ada di televisi. Kakek itu mungkin akan mati dengan sebab yang lain. Bukan karena kelaparan.

Lebih mengenaskan lagi mengingat ada lima pasang capres dan cawapres yang sekarang sedang gencar hambur uang berkampanye untuk jadi pemimpin "bangsa besar" ini. Yang katanya gemah ripah loh jinawi, tanam kayu tumbuh umbi, yang di jalan tol metropolitannya bersliweran mobil sedan besar cepat lagi mahal, dan remajanya menghabiskan ratusan ribu rupiah untuk benda tak perlu bernama HandPhone (mengenai ini, duuuluuuu sekali, rasanya pernah ada teknologi murahan yang namanya telepon umum) dan makanan sampah tak bergizi di gerai-gerai waralaba internasional (itupun seringkali bersisa, tak habis, dan dibuang mubazir).

Uang sebanyak trilyunan rupiah berputar kencang berarus deras berpindah tangan dalam sebuah sistem perekonomian yang katanya hendak tinggal landas menuju pasar bebas, dan ada seorang kakek, yang dulunya mantri desa, di Kupang NTB, mati karena kelaparan.
Siapa tahu ternyata bukan hanya kakek itu saja, mungkin di luar sana banyak yang diam tak ditemukan, terbaring tinggal jasad, karena tidak bisa makan.

Senin, 04 Oktober 2004, 15:14:28

Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again