Edutainment atau Infotainment?

Apakah pendidikan itu sebuah komoditas yang diperjualbelikan? Tampaknya demikian. Paling tidak di negara yang bernama Republik Indonesia. Meskipun pengetahuan semestinya adalah sebuah hal yang sungguh tak ternilai dan sulit ditakar dengan nilai nominal mata uang manapun, akan tetapi sistem pengajaran itu adalah sesuatu yang harus dibeli. Gelar "orang terpelajar" bisa dinilai dengan uang. Secarik kertas ijazah dengan lambang sebuah lembaga pendidikan adalah sebuah komoditas.

Pemerintah memang menyediakan sarana pendidikan berupa sekolah-sekolah negeri untuk beberapa tingkatan pendidikan mulai dari yang dasar hingga yang tinggi. Seorang anak bisa mulai dengan belajar membaca, berhitung, hingga mampu menyelesaikan rumus-rumus matematika yang sukar dan mengetahui bagaimana cara mengukur jarak dari bumi ke bintang tertentu yang tidak bisa dilihat mata telanjang. Tapi sarana-sarana ini bergantung pada seberapa ikhlas dan murah hatinya para tetua di Dinas Pendidikan Nasional. Jika mereka cukup ikhlas dan murah hati, para siswa yang belajar di sarana yang disediakan pemerintah ini akan cukup cerdas. Mereka akan bisa membaca satu buku penuh dan benar-benar memahaminya, mampu bertindak dan mengamalkan pengetahuannya dalam kehidupan bermasyarakat sehari-harinya. Jika para tetua tersebut kurang ikhlas dan kurang murah hati biasanya para siswa yang tertampung sarana yang disediakan pemerintah ini akan mengalami keloyoan baik dalam fisik maupun dalam pikiran. Mungkin mereka dapat membaca A hingga Z dan menghafal sekian butir dalam Pedoman Penghayatan Pancasila, tapi itu hanya sekedar tahu dan hanya sekedar hafal. Saat membacanya tak satupun yang tertinggal di dalam hati mereka.

Kesulitan ini bisanya ditimpakan pada tidak berfungsinya kurikulum, maka disusunlah kurikulum baru, dimana hal ini berganti hampir setiap tahunnya. Karena rapat untuk menentukan kurikulum baru adalah juga rapat untuk menentukan kecerdasan hidup berbangsa dan bernegara, dibutuhkan para ahli dan pakar dalam bidang pendidikan dan mereka ini orang yang sangat sibuk dan berjiwa internasional, time is money, begitu kata orang barat.

Karena waktu adalah uang dan rapat penentuan kurikulum yang sangat penting ini membutuhkan waktu yang sangat banyak dan melelahkan, maka tiap-tiap pakar dan ahli ini akan mendapatkan uang ganti rugi atas waktu profesional mereka yang terpakai.

Mereka ini juga tentunya harus menjaga stamina dan kesehatan karena merumuskan sebuah kurikulum adalah bukan hal yang mudah dan menguras tenaga juga, maka disediakanlah sarana berupa kamar untuk mereka beristirahat, makanan-makanan ringan dan juga makanan berat, serta secangkir atau dua cangkir minuman hangat untuk membuat mereka tetap terjaga.

Boleh juga hiburan yang menyegarkan di akhir rapat perencanaan kurikulum nasional sehingga segala penat mengurusi pendidikan bangsa yang sangat teramat penting ini bisa lenyap. Kalau perlu setiap malam sehingga bisa langsung segar dan fresh untuk esok paginya. Diharapkan dengan modal yang sedemikian besar untuk membentuk suatu dasar kurikulum baru, hasilnya sangat prima dan teruji sehingga bisa bertahan paling tidak untuk satu dekade.

Tapi di negara Republik Indonesia yang para birokratnya sangat menyenangi formalitas rapat dan sidang, rapat perencanaan dan pembentukan kurikulum baru ini hendaknya diadakan tiap tahunnya. Menjadi semacam acara konvensi tahunan. Mungkin bisa juga sambil tamasya. Kita bisa mengadakan konvensi nasional pendidikan untuk membicarakan rencana kurikulum tahun depan sambil tamasya ke Bali, misalnya. setelah lelah rapat, bisa berwisata menyegarkan piiran ke Ubud, atau Kuta, atau Sanur. Atau kita bisa juga mengadakan studi banding ke Hong Kong dan Singapura, sebaiknya pada bulan Desember untuk mempersiapkan pergantian tahun ajaran berikutnya, sekalian musim diskon di tempat-tempat belanja.

Karena kurikulum berganti tentu saja buku pelajaran di tahun sebelumnya menjadi tidak sesuai dengan kurikulum. Siswa harus membeli baru kalau tidak mereka tidak akan bisa bertambah cerdas dan pintar. Belajar menggunakan buku bekas lungsuran kakak jelas sudah tidak tren lagi, di millenium baru ini, apalagi setelah reformasi abad lalu, banyak penerbitan baru yang muncul di Indonesia dengan harga buku yang bersaing. Siswa bisa membeli di toko buku atau melalui sekolah. Praktis dan mudah sekali, kalau anda punya uangnya.

Untuk memecahkan masalah kurang mampunya sebagian besar masyarakat Indonesia untuk membeli buku pelajaran sebetulnya juga sudah ada sebuah jalan keluar bernama perpustakaan. Konon fasilitas yang bernama perpustakaan ini berfungsi menyimpan berbagai macam dokumentasi pikiran, pemikiran, dan pengetahuan umat manusia. Mulai dari yang tercetak hingga yang berbentuk selain barang cetakan.

Karena dibiayai pemerintah, uangnya tentunya berasal dari pajak yang ditarik dari masyarakat. Fasilitas milik umum yang biayanya rendah dan hemat dan dimaksudkan untuk penggunaan umum. Nah, di negara Republik Indonesia ini, perpustakaan umum adalah sebuah pos anggaran yang entah dananya kemana dan apakah ada hasilnya. Jikalau alasan bahwa minat baca rendah, tentunya ini harusnya bisa diatasi dengan membudayakan penggunaan perpustakaan itu sendiri, yang mana hal ini sama sekali tidak terjadi. Yang membudaya adalah "jika kau membutuhkannya maka kau harus membeli dan memilikinya". Budaya ini penting untuk menjaga keseimbangan perputaran uang, katanya. Perputaran uang entah di lapisan masyarakat yang sebelah mana dan apakah itu di dalam negara Republik Indonesia atau malah ke negara-negara lain juga tidak jelas. Kembali ke masalah perpustakaan, yang terkelola dengan baik persentasenya sangat rendah, yang dibuka untuk umum dan layak pakai lebih rendah lagi. Semuanya kembali pada perdagangan dan nilai tukar mata uang Rupiah.

Kalau para orangtua di Indonesia ingin anaknya bisa bersaing di era pasar bebas, tentunya mereka harus menguasai keahlian lebih--paling tidak, bisa berbahasa Inggris. Nah, sayangnya karena kurikulum pendidikan di sekolah pemerintah biasanya bergantung pada murah hati atau tidaknya para pemimpin otonomi tiap daerah, para orangtua akhirnya memilih pada satu merek yang pasti; sekolah swasta. Yang kau bayar ya itulah yang kau dapat. Jika orangtua merasa tidak puas dengan materi yang diajarkan atau dengan para pengajar dan cara mereka mengajar, para orangtua bisa langsung datang menghadap dengan didampingi ikatan orangtua murid pada pengurus sekolah dan minta kejelasan kemana uang yang mereka bayarkan jika tidak ke mutu pendidikan. Ini tentunya tidak bisa diterapkan pada sekolah negeri karena di sekolah negeri biasanya para guru dibayar oleh pemerintah dan bukan oleh para siswa. Sekeras apa pun protes para siswa dan atau juga orangtua mereka, siswa dan orangtuanya hanyalah konsumen.

Guru adalah pegawai dan pemerintah adalah tuhan. Sayangnya tuhan juga tidak bisa mendengar keluhan karena asistennya terlalu banyak dan mereka sibuk saling berbicara antara mereka sendiri sehingga suara konsumen hilang ditelan berisik. Pegawai tentu saja tidak boleh berisik. Kalau pegawai ikut berisik, asisten tuhan akan menurunkan atau memotong gaji pegawai dan memastikan mereka tidak bisa makan hari itu, besoknya, dan besoknya lagi. Karena pegawai butuh makan dan punya keluarga yang juga butuh makan, maka pegawai adalah orang yang paling menurut sedunia. Seharusnya semua pegawai seperti ini masuk surga setelah mereka mati. Itu pun kalau ada Tuhan.

Siswa-siswa di negara Republik Indonesia juga biasanya tidak terlalu berprestasi dalam bidang olahraga. Keahlian berolahraga tidak menarik dibandingkan dengan gaji dan jaminan ekonomi yang bisa didapat dari pekerjaan kantoran. Bugar dan sehat secara fisik itu bukan suatu kesuksesan atau prestasi. Kamu harus jadi juara atau tidak sama sekali di negara Republik Indonesia. Kecuali kalau terlahir kaya atau minimal berkecukupan dengan hubungan antar individu yang baik dalam jaringan masyarakat, seorang siswa yang berbakat olahraga mungkin bisa menjadi atlit yang menjanjikan. Kalau tidak terlalu, teruslah berusaha dan berdoa ada seorang yang dermawan mau menjadi sponsor dan pelindungnya di dunia persaingan yang kejam dan keras. Piihan lainnya adalah menghafalkan isi buku dan diktat sesuai dengan kurikulum pendidikan tahun ini, dan tahun setelahnya dan tahun depannya lagi. Sarjana itu pasti dapat kerja yang enak, yang dibayar tiap bulannya, yang ada jaminan pensiunnya. Kalau kau tidak dapat kerja itu karena kau bukan sarjana.

Entah bagaimana dengan yang lain, tapi seringkali aku menatap keluar jendela dan berharap seandainya aku bukan anak Republik Indonesia.

26 November 2005

Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Two Thousand Seven All Over Again