Control Your Face
Otot wajah gue ini kayanya minta dibom botox.
Gue bukan jenis pokerface yang bisa banget sekian ribu otot di muka nggak bergerak sama sekali. Kayanya kalo gue di ajak main poker, gue bakalan kalah besar. Dan buat mereka-mereka yang tau banget gue, nggak usah pake lie detector juga pasti bisa ngebaca gue.
This is an honest face.
HAHAHA
Sebenernya postingan kali ini diliputi oleh perasaan dan sensasi sendu melankoli yang sedang menenggelamkan diriku di tepi jurang kenistaan. Tinggal 4 hari lagi lebaran. Ini artinya harus berhadapan dengan ke 12 paman dan bibi, 32 sepupu (belum ditambah dengan pasangannya), dan sekitar 15 orang keponakan dari 32 sepupu itu.... Nah ini belum lagi ditambah dengan paman dan bibi yang famili jauh, serta sanak kadang yang datang berkunjung.
Mirna akan mengalami tiga hari siksa batin.
Dulu acara macam begini adalah saat yang paling menyenangkan, soalnya kami semua, para cucu yang saat itu masih sangat muda, akan menghabiskan malam takbiran bermain petasan dan kembang api, pergi keliling kampung untuk meneriakkan takbir, atau sibuk membantu para tetua di dapur menghabiskan kue kecil yang sedianya untuk hidangan tamu esok hari. Beberapa krat minuman bersoda dan juga susu kedelai akan dibeli untuk tamu, tapi selalu habis oleh kami.
Waktu shubuh tiba, kami semua dibangunkan karena walaupun kamar mandi ada 3, tetap saja harus mengantri! Untung saja rumah nenek dari Ibu hanya beda tiga gang saja. Kalau kamar mandi rumah nenek dari Bapak penuh, gue tinggal kabur ke rumah nenek yang satunya buat mandi. Lalu lari-lari pake baju baru... ikut shalat ied di Lapangan Bungkul.
Sarapan pagi saat lebaran selalu : Gule.
Nggak pernah nggak.
Sampai jam 11 siang berkutat di tempat keluarga Bapak, lalu pergi ke keluarga Ibu untuk menu makan siang yang lebih bervariasi. Sebelum makan siang, upacara dulu: Sungkem. Dilanjutkan dengan upacara yang lebih menggairahkan: Amplop lebaran! HORE!
Lepas itu, sibuklah diriku membantu nenek Ibu menjamu tamu yang datang berkunjung.
Tapi sejak 7 tahun yang lalu... hampir semua sepupu mulai berkeluarga. Tradisi malam takbiran makin sepi. Tradisi amplop mulai berkurang. Tradisi lain muncul...
Oh the wickedest thing when families gather in one place for more than a day!
Gue paling nggak tahan sama hal-hal aneh yang dilakukan keluarga gue. Gue suka ngorek-ngorek gosipnya ke tante gue, tapi just for know. Nggak buat gue sebarin ke anggota klan lainnya dengan bumbu yang lebih hot dan spicy. Hal macam ini nggak masuk akal, tapi adaaa aja yang melakukan itu. Jualan ayam sisa dengan bumbu spektakuler. Macam rumah makan padang aja. Padahal keluarga gue asli Jawa!
Gila mereka semuanya.
But at the end of the day, it's ok because they're family. And you have to love them because they're family.
Cuma ya itu tadi... muka gue itu muka yang nggak bisa diajak kerjasama. Di saat siang sudah mulai terik dan nenek atau salah satu atau dua dari bibi dan paman itu mulai menggelar "dagangannya"... Muka gue bakalan kaya mesin cuci front load yang kelebihan beban. Gue nggak bisa mencerna semua "hidangan keluarga" sekali dalam setahun itu tanpa melewatkannya ke hati gue. Which is easily hurt, gitu.
Secara tahun ini bisa dibilang tahun yang paling nggak enak buat gue, sementara tahun lalu mereka udah gilang gemilang menggelar gue sebagai salah satu bahan barter gosip, gue nggak sanggup bikin show re-run.
Sori, mek...gak ada siaran ulang!
Tapi nggak bisa dong bilang gitu ke mereka. Selain gue nggak setega itu, kalo pilihan ini diambil, yang masuk play-list sebagai pengganti siapa lagi kalo bukan Yang Mulia Ibunda... guilty feeling yang timbul bagaikan jerawat yang tumbuh di atas bisul.
Dan muka gue bakalan tambah mendung dan berawan.
Ditambah hari ini... gigi bungsu gue yang terakhir tumbuh dan muncul. Ditambah semua keruwetan pikiran ini, muka menjadi semakin manyun dan blo'on.
ya Tuhaaaaannn... berikanlah aku kekuatan mengontrol wajahkuuuuu!!!!
Gue bukan jenis pokerface yang bisa banget sekian ribu otot di muka nggak bergerak sama sekali. Kayanya kalo gue di ajak main poker, gue bakalan kalah besar. Dan buat mereka-mereka yang tau banget gue, nggak usah pake lie detector juga pasti bisa ngebaca gue.
This is an honest face.
HAHAHA
Sebenernya postingan kali ini diliputi oleh perasaan dan sensasi sendu melankoli yang sedang menenggelamkan diriku di tepi jurang kenistaan. Tinggal 4 hari lagi lebaran. Ini artinya harus berhadapan dengan ke 12 paman dan bibi, 32 sepupu (belum ditambah dengan pasangannya), dan sekitar 15 orang keponakan dari 32 sepupu itu.... Nah ini belum lagi ditambah dengan paman dan bibi yang famili jauh, serta sanak kadang yang datang berkunjung.
Mirna akan mengalami tiga hari siksa batin.
Dulu acara macam begini adalah saat yang paling menyenangkan, soalnya kami semua, para cucu yang saat itu masih sangat muda, akan menghabiskan malam takbiran bermain petasan dan kembang api, pergi keliling kampung untuk meneriakkan takbir, atau sibuk membantu para tetua di dapur menghabiskan kue kecil yang sedianya untuk hidangan tamu esok hari. Beberapa krat minuman bersoda dan juga susu kedelai akan dibeli untuk tamu, tapi selalu habis oleh kami.
Waktu shubuh tiba, kami semua dibangunkan karena walaupun kamar mandi ada 3, tetap saja harus mengantri! Untung saja rumah nenek dari Ibu hanya beda tiga gang saja. Kalau kamar mandi rumah nenek dari Bapak penuh, gue tinggal kabur ke rumah nenek yang satunya buat mandi. Lalu lari-lari pake baju baru... ikut shalat ied di Lapangan Bungkul.
Sarapan pagi saat lebaran selalu : Gule.
Nggak pernah nggak.
Sampai jam 11 siang berkutat di tempat keluarga Bapak, lalu pergi ke keluarga Ibu untuk menu makan siang yang lebih bervariasi. Sebelum makan siang, upacara dulu: Sungkem. Dilanjutkan dengan upacara yang lebih menggairahkan: Amplop lebaran! HORE!
Lepas itu, sibuklah diriku membantu nenek Ibu menjamu tamu yang datang berkunjung.
Tapi sejak 7 tahun yang lalu... hampir semua sepupu mulai berkeluarga. Tradisi malam takbiran makin sepi. Tradisi amplop mulai berkurang. Tradisi lain muncul...
Oh the wickedest thing when families gather in one place for more than a day!
Gue paling nggak tahan sama hal-hal aneh yang dilakukan keluarga gue. Gue suka ngorek-ngorek gosipnya ke tante gue, tapi just for know. Nggak buat gue sebarin ke anggota klan lainnya dengan bumbu yang lebih hot dan spicy. Hal macam ini nggak masuk akal, tapi adaaa aja yang melakukan itu. Jualan ayam sisa dengan bumbu spektakuler. Macam rumah makan padang aja. Padahal keluarga gue asli Jawa!
Gila mereka semuanya.
But at the end of the day, it's ok because they're family. And you have to love them because they're family.
Cuma ya itu tadi... muka gue itu muka yang nggak bisa diajak kerjasama. Di saat siang sudah mulai terik dan nenek atau salah satu atau dua dari bibi dan paman itu mulai menggelar "dagangannya"... Muka gue bakalan kaya mesin cuci front load yang kelebihan beban. Gue nggak bisa mencerna semua "hidangan keluarga" sekali dalam setahun itu tanpa melewatkannya ke hati gue. Which is easily hurt, gitu.
Secara tahun ini bisa dibilang tahun yang paling nggak enak buat gue, sementara tahun lalu mereka udah gilang gemilang menggelar gue sebagai salah satu bahan barter gosip, gue nggak sanggup bikin show re-run.
Sori, mek...gak ada siaran ulang!
Tapi nggak bisa dong bilang gitu ke mereka. Selain gue nggak setega itu, kalo pilihan ini diambil, yang masuk play-list sebagai pengganti siapa lagi kalo bukan Yang Mulia Ibunda... guilty feeling yang timbul bagaikan jerawat yang tumbuh di atas bisul.
Dan muka gue bakalan tambah mendung dan berawan.
Ditambah hari ini... gigi bungsu gue yang terakhir tumbuh dan muncul. Ditambah semua keruwetan pikiran ini, muka menjadi semakin manyun dan blo'on.
ya Tuhaaaaannn... berikanlah aku kekuatan mengontrol wajahkuuuuu!!!!
Comments