Bangsa yang Mencatat
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya. Saya pernah mendengar slogan ini utamanya menjelang hari besar yang merupakan peringatan penting bebasnya negara Republik Indonesia dari kekuatan fisik asing pada pertengahan abad lalu. Apakah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar?
Yang perlu dicatat adalah kesimpangsiuran sejarah yang ada di Indonesia. Sebetulnya beberapa orang mungkin sudah menyadarinya namun sebagian besar tidak, bahwa pencatatan sejarah di Indonesia
tidak lebih beres daripada tata buku keuangannya. Ada seorang jenius yang pernah menguasai Republik Indonesia selama lebih tiga dekade yang menyadari bahwa yang membuat orang hidup selamanya adalah catatan mengenai dirinya. Tulisan adalah hal yang paling efektif untuk mengawetkan keberadaan seseorang bahkan setelah orang itu bersatu dan memfosil di tanah. Maka sejarah Indonesia pun mencatat banyak hal yang mungkin harusnya diperiksa ulang, namun tidak.
Dan malang sekali bagi lebih dari tiga generasi yang bersekolah pada masa tiga dekade lebih tersebut karena pengetahuan mereka tentang sejarah adalah yang sesuai dengan yang didiktekan penguasa peredaran buku di Republik Indonesia. Manusia Republik Indonesia selalu diajarkan untuk melihat sesuatu dari satu sudut pandang saja, dan tidak pernah diajarkan untuk bertanya dan mempertanyakan.
Ini menghasilkan sebuah budaya masyarakat yang tidak besar, masyarakat yang tidak menghargai jasa orang lain. Masyarakat yang tidak menghargai para pahlawannya. Bila kau tanya pada anak muda
jaman sekarang siapa idola mereka, maka sebagian besar akan menyebutkan orang-2 yang berasal dari luar negara Republik Indonesia.
Olahragawan, ilmuwan, musisi, pemberontak. Yang menyebutkan para pahlawan lokal hanya menghafal nama, tanggal lahir dan kematian, bagaimana mereka mati, dan alasannya. Namun mereka menghargai
para pahlawan nasional itu hanya sebatas mereka menghargai nilai pada ujian dan buku raport mereka. Bukan karena kekaguman.
Melihat keadaan dokumentasi sejarah di perpustakaan nasional Republik Indonesia juga hal yang sangat mengenaskan. Informasi mengenai sejarah tidak terbuka untuk umum bahkan dirahasiakan. Alasannya rakyat belum siap untuk mengetahui informasi ini. Teman saya yang membuat dokumenter pendek mengenai seseorang yang konon pernah dianiaya PKI pada jaman pemberontakan di Madiun tahun
1948 saja harus usaha jungkir balik diiringi doa siang malam untuk mendapatkan informasi yang dia inginkan dari sebuah badan penyimpan arsip nasional. Informasi yang didapat tidak maksimal pun
harus menandatangani janji bersegel materai bahwa ia tidak akan menyebarluaskan informasi yang dia dapatkan itu.
Sebetulnya pemerintah Republik Indonesia ini ingin mendidik rakyatnya menjadi apa? Jangan bertanya, jangan bicara, dan jangan perduli? Mungkin sebaiknya lambang negara berupa burung gagah yang bermata tajam dan sangat perkasa itu diganti menjadi tiga ekor kera yang menutup mata, mulut dan telinga mereka. Semboyan rakyat juga harusnya menjadi "Diam itu Emas".
Konon bangsa Indonesia di masa lampau adalah bangsa yang besar.
Penguasa bahari dan pejuang ulung. Mungkin semuanya sudah
tergulung ombak karena kebesaran itu tak banyak tersisa sekarang.
Senin, 06 Desember 2004, 15:17:52
Yang perlu dicatat adalah kesimpangsiuran sejarah yang ada di Indonesia. Sebetulnya beberapa orang mungkin sudah menyadarinya namun sebagian besar tidak, bahwa pencatatan sejarah di Indonesia
tidak lebih beres daripada tata buku keuangannya. Ada seorang jenius yang pernah menguasai Republik Indonesia selama lebih tiga dekade yang menyadari bahwa yang membuat orang hidup selamanya adalah catatan mengenai dirinya. Tulisan adalah hal yang paling efektif untuk mengawetkan keberadaan seseorang bahkan setelah orang itu bersatu dan memfosil di tanah. Maka sejarah Indonesia pun mencatat banyak hal yang mungkin harusnya diperiksa ulang, namun tidak.
Dan malang sekali bagi lebih dari tiga generasi yang bersekolah pada masa tiga dekade lebih tersebut karena pengetahuan mereka tentang sejarah adalah yang sesuai dengan yang didiktekan penguasa peredaran buku di Republik Indonesia. Manusia Republik Indonesia selalu diajarkan untuk melihat sesuatu dari satu sudut pandang saja, dan tidak pernah diajarkan untuk bertanya dan mempertanyakan.
Ini menghasilkan sebuah budaya masyarakat yang tidak besar, masyarakat yang tidak menghargai jasa orang lain. Masyarakat yang tidak menghargai para pahlawannya. Bila kau tanya pada anak muda
jaman sekarang siapa idola mereka, maka sebagian besar akan menyebutkan orang-2 yang berasal dari luar negara Republik Indonesia.
Olahragawan, ilmuwan, musisi, pemberontak. Yang menyebutkan para pahlawan lokal hanya menghafal nama, tanggal lahir dan kematian, bagaimana mereka mati, dan alasannya. Namun mereka menghargai
para pahlawan nasional itu hanya sebatas mereka menghargai nilai pada ujian dan buku raport mereka. Bukan karena kekaguman.
Melihat keadaan dokumentasi sejarah di perpustakaan nasional Republik Indonesia juga hal yang sangat mengenaskan. Informasi mengenai sejarah tidak terbuka untuk umum bahkan dirahasiakan. Alasannya rakyat belum siap untuk mengetahui informasi ini. Teman saya yang membuat dokumenter pendek mengenai seseorang yang konon pernah dianiaya PKI pada jaman pemberontakan di Madiun tahun
1948 saja harus usaha jungkir balik diiringi doa siang malam untuk mendapatkan informasi yang dia inginkan dari sebuah badan penyimpan arsip nasional. Informasi yang didapat tidak maksimal pun
harus menandatangani janji bersegel materai bahwa ia tidak akan menyebarluaskan informasi yang dia dapatkan itu.
Sebetulnya pemerintah Republik Indonesia ini ingin mendidik rakyatnya menjadi apa? Jangan bertanya, jangan bicara, dan jangan perduli? Mungkin sebaiknya lambang negara berupa burung gagah yang bermata tajam dan sangat perkasa itu diganti menjadi tiga ekor kera yang menutup mata, mulut dan telinga mereka. Semboyan rakyat juga harusnya menjadi "Diam itu Emas".
Konon bangsa Indonesia di masa lampau adalah bangsa yang besar.
Penguasa bahari dan pejuang ulung. Mungkin semuanya sudah
tergulung ombak karena kebesaran itu tak banyak tersisa sekarang.
Senin, 06 Desember 2004, 15:17:52
Comments
Waktu bangsa Indonesia konon bangsa yang besar, apa sebegitu sempurnanya sistem pemerintahannya? Apa karena bangsa itu juga mencatat sisi sejarahnya yang "lebih baik"?
"Manusia Republik Indonesia selalu diajarkan untuk melihat sesuatu dari satu sudut pandang saja, dan tidak pernah diajarkan untuk bertanya dan mempertanyakan."
Bukankah umumnya penguasa & bangsa begitu? Komunisme, Jemaah Islamiyyah, Gereja Katolik masa Medieval, Arab Saudi, bahkan orang-orang partai demokrat moderen di Barat. Semuanya memberlakukan cara pandang dalam catatan sejarahnya.
Karena memandang dua sisi sebuah cerita, membutuhkan kerendahan diri untuk menerima ketololan kita sehari-hari.