Angkot Chronicle : Like it or not

19 Oktober 2003
Saya ini pengguna angkot budiman. Saya menghentikan angkot di tempat yang kurang lebih semestinya, tidak merokok meludah sembarangan di angkot, duduk rapi agar banyak tempat bagi orang lain, membayar dengan uang pas dan mengucapkan terimakasih pada supir setelah membayar.
Harus demikian memang, karena saya sebal pada orang yang asal saja mengacungkan jarinya di ujung perempatan sibuk dan membuat macet orang sekampung sementara menunggu orang itu naik dan memposisikan dirinya sedemikian rupa di angkot.

Saya juga kesal setengah mati pada orang yang merokok di angkot. Apalagi jenis yang dengan sok cuek duduk di sudut dengan jendela tertutup dan menghembuskan rokoknya seakan dia raja angkot seluruh Bandung. Saya biasanya akan berusaha membuat orang itu sadar bahwa apa yang ia lakukan mengganggu. Misalnya dengan memberi isyarat tubuh, batuk-batuk, menutup hidung saya dengan tangan, melambai-lambaikan tangan mengusir asap, atau memelototi rokoknya yang menyala. Mengatakan secara langsung pada tersangka pengganggu kenyamanan lingkungan dianggap kurang sopan, sesuai adat timur kita harus tenggang rasa. Beberapa memang memahami saya lalu mematikan rokoknya, lainnya merasa sok macho maskulin dewasa tetap menghisap rokoknya.

Kalau sudah begini saya sering jadi serba salah. Kalau saya turun dari angkot itu, saya rugi karena kadang tujuan saya hanya sedikit lagi. Kalau saya tidak turun, saya makin sesak dan pusing karena asap rokok. Kalau orangnya saya tegur terus terang bisa jadi kami akan bertengkar karena beberapa orang menganggap dia boleh melakukan apa saja karena dia naik lebih dulu dari saya dan sudah membayar ongkos perjalanan. Kalau tidak saya tegur saya jadi kesal dan sesak dada menahan amarah dan asap rokok. Kadang saya ingin menyalakan lima rokok sekaligus, menghadap tersangka pengganggu kenyamanan udara itu dan menghembuskan asap tebal diwajahnya agar dia tahu bahwa nggak cuma dia yang bisa menghasilkan polusi menyebalkan di angkot. Tapi kalau begitu apa beda saya dengan dia? Terutama bila di angkot itu ada orang lain selain kami berdua dan supir serta kenek.

Masalah yang sama juga terjadi pada pemberian posisi duduk. Beberapa orang memilih tempat strategis agar bisa mendapatkan udara segar kala angkot melaju dan memudahkan akses keluar masuk pintu angkot. Masalahnya timbul saat angkot agak penuh lalu supir bermaksud menjejalkan satu dua orang penumpang lagi atau beberapa orang akan turun. Saya paling kesal pada orang yang ogah bergeser. Ini sering akan membuat supir, kenek, dan penumpang lain menatap saya seakan sayalah penyebab kekacauan di dalam angkot itu karena 1) tubuh saya besar, sehingga 2) saya makan banyak tempat yang seharusnya bisa untuk dua orang. Pelecehan memang, dan saya sudah belajar untuk cuek saja. Toh saya selalu duduk rapi dan sebisa saya menghemat tempat yang tersedia untuk pantat saya ini.

Saya selalu berusaha membayar dengan uang pas karena bila saya membayar dengan uang yang terlalu besar nominalnya, supir mayoritas memilih untuk tidak memberi kembalian, atau mengurangi jumlah kembalian yang seharusnya saya terima. Memang sih hanya seratus dua ratus rupiah dan selebihnya saya harus maklum. Padahal bayangkan berapa ratus orang naik turun angkot membayar dengan uang yang berlebih seratus rupiah tiap hari. Bila dikalikan dan jumlahnya dihitung dengan berapa hari seminggu supir bersangkutan mengemudi, maka untungnya lumayan juga.

Saya tidak pernah lupa berterimakasih pada supir setelah sampai di tujuan. Alasannya ada dua:
a. saya orang yang cukup santun dan supir itu telah berjasa menyetir angkotnya sehingga saya ada alat transportasi untuk bepergian.
b. saya bersyukur karena sopir itu berhasil tidak membunuh saya selama perjalanan hingga sampai ke tempat tujuan.

Yang membuat saya seharusnya mendapat penghargaan sebagai pengguna angkot teladan adalah bahwa saya selalu mengucapkan doa sebelum naik dan duduk di angkot, serta mengucapkan maaf kira-kira bila ada orang yang tersenggol atau terinjak saya saat saya merunduk rendah mencoba jalan jongkok ke tempat duduk yang di pojokan.

Comments

Popular posts from this blog

Durga Doesn't Have Laundry Problems, and We Shouldn't Either!

Have Child Will Travel: Nyepi Holiday Adventure (2)

Main ke Desa